Apakah saat ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk
mendorong kemunculan para politisi libertarian di Indonesia? Lepas dari semua
spekulasi mengenai prospek pemerintahan Jokowi-JK yang baru memulai pekerjaan
mereka, saat ini adalah saat yang bisa dianggap sebagai saat-saat penting dalam
kehidupan berbangsa kita. Saya menyebutnya momen ideal dalam kehidupan politik,
di mana sebuah ideal, sekumpulan gagasan politik, harus diajukan. Kepemimpinan
populistis Jokowi, perseteruan dalam parlemen (mengikuti kemenangan Jokowi),
persoalan beberapa UU non-produktif dan non-demokratis yang bisa jadi akan
terus diproduksi serta, terutama, semakin terlibatnya rakyat dalam semua itu,
adalah saat di mana politik bukan lagi menjadi panglima tapi sang kaisar.
Dalam situasi ini, sekali lagi, bolehkah kita berharap akan munculnya
para politisi libertarian? Saya kira tidak. Momen ideal yang ditunjukkan oleh
situasi politik kita saat ini tidak harus kita jawab dengan memunculkan para
politisi libertarian. Bukan hanya karena kita belum memiliki politisi seperti
itu tapi karena langkah sejarah belum menunjukkan pada kita kegentingan sekaligus
kearifan untuk memaksakan kemunculannya. Meski begitu, kita sudah tiba pada
saat yang cukup tepat dalam memulai langkah untuk itu. Dan langkah awalnya,
saya kira, adalah membangun basis organisasional untuk melakukan pengkaderan
politisi libertarian.
Tentu saja kita harus tahu bahwa gagasan libertarian sudah
tidak bisa lagi dianggap asing di republik ini. Dalam skala yang jauh lebih
moderat, kita sudah melihat munculnya kelompok-kelompok liberal. Sebut saja
lembaga seperti Freedom Institute
Indonesia dengan kompatriotnya Akademi
Merdeka yang merupakan lembaga pelatihan pemikiran liberal di Indonesia
yang cukup rajin. Meski tak pernah jelas benar di mana posisi politik mereka
dalam realitas politik kita hingga hari ini, namun apa yang mereka lakukan,
dalam lembaganya masing-masing, sangat patut dihargai. Termasuk gonjang ganjing
yang layak diacungi jempol yang telah dilakukan kelompok keagamaan liberal
seperti Jaringan Islam Liberal.
Karena itu, meski gagasan mengenai kebebasan individu dan
pasar bebas masih memiliki oponennya yang ngotot di Indonesia tetapi
kecanggihan argumentatif untuk melakukan pembelaan atas gagasan-gagasan
libertarian tersebut sudah menemukan pena dan pembacanya. Kita telah
menyaksikan kelahiran para intelektual liberal, jika tidak bisa disebut
libertarian, dalam beberapa dekade terakhir ini yang bukan hanya memiliki
pembaca tapi juga pengikut. Maka persoalannya bagi kita saat ini, yakni saat di
mana politik menjadi ukuran mati-hidup kita sebagai sebuah bangsa, aspirasi
bagi munculnya para politisi libertarian tidak bisa lagi diabaikan – setidaknya
bagi kaum libertarian sendiri.
Tetapi sejarah memiliki caranya sendiri untuk melangkah dan
orang yang paling sukses dalam politik adalah mereka yang tahu cara sejarah
melangkah dan siap untuk mengikuti, memanfaatkan, bahkan menungganginya. Saya
tidak berbicara tentang langkah sejarah dalam kerangka berpikir Marxis tapi
langkah sejarah sebagai pola acak perkembangan dan kemunduran sebuah bangsa
dalam pertarungan antara negara dengan masyarakat sipil; dalam terma yang lebih
ekonomis, pertarungan antara kelas non-produktif dengan kelas produktif atau,
dalam terma yang lebih eksistensialis, pertarungan antara kehendak akan
kekuasaan dengan kehendak akan kebebasan.
Pertarungan itu sendiri terkadang bersifat niskala karena
dalam beberapa contoh ia bisa berganti rupa menjadi perselingkuhan. Secara
politik, kita bisa melihat bagaimana para demagog, untuk kepentingan politik
pribadi, cenderung memelintir gerakan masyarakat sipil menjadi gerakan yang
justru semakin memperbanyak dan memperkuat tentakel leviathan negara. Secara
ekonomi, kita bisa melihat bagaimana kelas produktif memanfaatkan kelas
non-produktif dalam birokrasi pemerintahan untuk mendukung keuntungan ekonomi
jangka pendek mereka lewat proteksi dan sejenisnya. Bahkan secara eksistensial
kita tahu bahwa kehendak akan kekuasaan bersifat sama inheren dalam diri
individu manusia sebagaimana kehendaknya akan kebebasan. Itulah kenapa, secara
definitif, kita cenderung bingung membedakan antara kebebasan dengan kekuasaan
(bahwa tidak mampu melakukan sesuatu bukan berarti tidak bebas melakukannya).
Dan dalam pola gerak langkah sejarah seperti itulah kita
boleh mulai menebar bibit politisi libertarian sembari melakukan uji coba
gagasan-gagasan libertarian dalam isu-isu politik, ekonomi, dan sosial kita
saat ini. Perhatikan, yang saya maksudkan adalah gagasan libertarian, bukan sekedar
gagasan liberal yang sudah sering kita dengar selama ini. Artinya, gagasan
tentang politik pemerintahan minimal ala Ron Paul dan gagasan pasar bebas dalam
landasan model ekonomi Austria seperti yang dia ajukan. Terdengar menyeramkan
dan tak arif secara politis? Mungkin. Tapi bukankah itu makna yang sesungguhnya
dari eksperimentasi? Seperti juga eksperimentasi beberapa kawan liberal yang
bergabung dengan beberapa partai politik yang menurut saya jauh lebih
menyeramkan dan sama sekali tak arif secara ideologis.
Saat ini, pada momen ideal ini, kita tentu saja baru boleh
bermimpi menemukan figur politisi seperti Ron Paul di Indonesia. Tapi mimpi itu
sudah boleh kita ceritakan ke teman-teman dan tetangga. Sudah boleh kita publikasikan
dengan resiko dimaki-maki seperti biasa. Dan itu tidak masalah karena politik
pada akhirnya adalah masalah praktis membawa bangsa kita melangkah ke masa depan.
Dan rakyat, di manapun adanya, tidak akan peduli dengan nama-nama sejauh itu
bisa meningkatkan taraf hidup dan kebebasan mereka. Namun sejarah belum cukup
matang untuk memunculkan politisi libertarian di Indonesia. Kita masih harus
menunggu dengan cara menebar bibit, termasuk menceritakan dengan keberanian
yang cukup mimpi-mimpi kita itu.
Sekedar cerita
Ketika menceritakan mimpi seperti itu kepada seorang kawan,
reaksinya sangat konservatif. Kenapa mengidolakan politisi Amerika? Apakah kita
sudah kekurangan politisi ideal di negeri ini? Benar. Setidaknya pada hari ini,
dan beberapa dekade ke belakang, saya tidak melihat ada politisi yang bisa saya
anggap ideal. Meskipun saya masih terus mengembangkan simpati pada beberapa di
antaranya, dalam kerangka Realpolitik
yang sedang mereka hadapi, seperti Ahok.
Saya menemukan diskrepansi akut antara ideal politik para
politisi dengan kemampuan berpolitik yang mereka miliki. Akbar Tanjung adalah
contoh politisi dengan kemampuan berpolitik yang saya kagumi tapi ideal
politiknya jelas menakutkan saya. Sebaliknya, tokoh seperti Ulil Abshar
Abdalla, misalnya, memiliki ideal politik yang saya kagumi tapi dengan keahlian
berpolitik yang sangat saya ragukan.
Tapi mungkin persoalannya tidak seserius itu, karena jika
kawan saya itu boleh mengagumi Hugo Chaves dan sepupu saya mengagumi Ahmadinejad,
kenapa saya tidak boleh mengagumi Ron Paul? Mungkin karena di panggung politik
Indonesia hari ini, menemukan demagog seperti Hugo Chaves dan Ahmadinejad bukan
hal yang sulit, tapi menemukan politisi seperti Ron Paul masih merupakan hal
yang muskil.
Catatan: dalam definisi Google Translate, demagogue artinya a political
leader who seeks support by appealing to popular desires and prejudices rather
than by using rational argument.
Manado, November 2014
amato assagaf