Selasa, 30 Desember 2014

IDE, TINDAKAN MANUSIA, DAN PERUBAHAN SOSIAL

oleh George H. Smith

Tindakan, menurut Ludwig von Mises, adalah tingkah laku bertujuan dengan apa manusia berupaya untuk mengganti “keadaan yang kurang memuaskan dengan keadaan yang lebih memuaskan.” Gagasan mengenai manusia yang bertindak ini mengisyaratkan tiga hal: (1) Manusia tidak puas dengan kondisinya yang sekarang; ini memberinya dorongan untuk mencari kondisi yang lebih diinginkan. (2) Manusia bisa membayangkan keadaan yang lebih dia inginkan; ini menjadi tujuannya. (3) Manusia percaya bahwa tindakannya memiliki kemampuan untuk mencapai tujuannya; ini membutuhkan teori mengenai hubungan kausal.

Komponen ketiga dari analisis Misesian ini utamanya penting jika kita bermaksud mengapresiasi peran ide-ide dalam tindakan manusia. Tanpa ide mengenai sebab dan akibat kita tidak akan punya alasan untuk memilih satu tindakan dari tindakan lainnya dalam memenuhi tujuan. Bilamana kita bertindak kita menampilkan kepercayaan kita akan kebenaran teorema kausal. Jika kita menempatkan dua orang yang hampir sama dengan tujuan yang sama dalam situasi yang sama tapi memiliki ide yang sangat berbeda mengenai sebab-akibat, maka perbedaan ini saja kemungkinannya akan menghasilkan tindakan yang berbeda. Kepercayaan subyektif kita mengenai sebab-akibat – entah benar ataupun salah, implisit ataupun eksplisit – adalah bumbu penting dalam setiap keputusan yang kita buat menyangkut tindakan kita.

Ide bersifat esensial bagi tindakan dalam cara yang lain pula. Sebelum seseorang memulai pencariannya akan kepuasan yang lebih besar, dia mesti membentuk ide mengenai apa yang dia inginkan. Ide ini adalah tujuan subyektif yang akan mendorong tindakannya. Yang pokok di sini adalah kenyataan subyektif dari tujuan bagi agen yang bertindak, bukan statusnya dalam dunia obyektif. Surga mungkin saja tidak ada di dunia obyektif, tetapi ia bisa ada sebagai ide subyektif di dalam pikiran manusia. Jika seorang manusia menginginkan surga dan percaya bahwa bunuh diri akan membawanya ke sana, maka tindakan merusak dirinya yang selanjutnya akan menjadi nyata dan tidak dapat ditarik kembali seperti setiap tindakan yang didasarkan pada kepercayaan sejati. Sama dengan itu, jika orang percaya bahwa kehendak politik adalah apa yang dibutuhkan untuk membawa perubahan sosial yang diinginkan, maka kepercayaan keliru ini akan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang nyata, jikapun tidak diniatkan.

Karena itu, saat seseorang memilih untuk bertindak, idenya (seperti yang telah disebutkan) pada akhirnya akan menentukan sifat tindakan tersebut. Sebaliknya, sering dikatakan bahwa kepentingan adalah penentu fundamental dari tindakan; tapi seperti yang diamati David Hume, “sekalipun manusia sering diatur oleh kepentingan, namun bahkan kepentingan itu sendiri, dan semua urusan manusia, seluruhnya diatur oleh opini.” Karena itu,. mengatakan bahwa semua manusia bertindak berdasarkan kepentingan-diri adalah kebenaran tandus, karena kita tidak mungkin tahu konfigurasi unik id-ide dan kepercayaan – pendapat-pendapat personal – yang menentukan makna “kepentingan-diri” bagi tiap individu. Demikian juga, setiap teori yang menjamin status istimewa bagi motif-motif ekonomi hanya akan benar jika itu hanya sepele. Tingkah laku ekonomi berkaitan dengan alokasi sumber daya yang langka, tapi menggambarkan setiap tindakan manusia. Setiap tindakan membutuhkan pengalokasian sumber daya yang langka (minimal, waktu dan tenaga kita) dalam rangka mengganti suatu kondisi yang kita nilai kurang menjadi kondisi yang kita nilai lebih. Sifat khas sebuah tindakan sangat bervariasi menurut penilaian subyektif dari setiap individu, sehingga sebuah teori yang mendasarkan semua tindakan pada motif-motif ekonomi tidak akan pernah maju melampaui bromida hampa.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menolak keutamaan peran ide-ide dalam tindakan manusia. Banyak di antaranya yang memenuhi syarat sebagai apa yang saya sebut argumentasi bias ideologi. Menurut tipe analisis ini, semua ide sosial, ekonomi, dan politik dicemari oleh bias budaya, gender, kepentingan ekonomi, dan seterusnya. Dikatakan, misalnya, bahwa pembelaan John Locke terhadap kepemilikan pribadi ditentukan oleh bias ideologisnya, yang merupakan produk dari kemunculan mentalitas borjuis di Inggris abad ke 17. Ada problem serius dengan pendekatan seperti ini, terlepas dari hal-hal khusus.

Setiap noda yang disebabkan oleh bias ideologis harus diterapkan juga pada penafsir, atau sejarawan ide-ide, sebagaimana pada subyek yang dia telaah. Termasuk pada kaum Marxis yang menganggap bahwa pembelaan Locke terhadap kepemilikan pribadi secara historis dipengaruhi oleh bias ideologis. Mengacu pada teori bias ideologi, jika diterapkan secara konsisten, maka penafsiran atas Locke ini tidak bisa meletakkan klaimnya di atas obyektivitas, karena penafsiran itu sendiri mesti juga merupakan produk dari bias ideologi Marxis. Mungkin kaum Marxis, diarahkan oleh bias ideologisnya melawan kepemilikan pribadi, telah merusak atau menyalahpahami ide-ide Locke. Satu-satunya jalan keluar dari lingkaran setan ini adalah sang penafsir harus membuat klaim bahwa dia bebas dari segala bentuk bias ideologis, yang sedikit terlalu nyaman.

Masalah ini menghantui pembahasan terkenal dari Karl Manheim mengenai “sosiologi pengetahuan” dalam Ideology and Utopia (terjemahan Inggris 1936), menurut pembahasan ini klaim-klaim pengetahuan mengenai masyarakat telah dikondisikan secara sosial. Para sosiolog telah mempertahankan banyak variasi dari doktrin ini, tapi, apapun makna persisnya, kita harus bertanya kepada para sosiolog mengenai status kognitif dari kepercayaan mereka terhadap pengondisian secara sosial. Apakah ini suatu kepercayaan yang dikondisikan secara sosial? Jika jawabannya TIDAK, maka tidak semua kepercayaan terkondisikan secara sosial, yang artinya teori mereka keliru. Jika jawabannya YA, maka kita bisa melanjutkan ke pertanyaan berikutnya: Bisakah para sosiolog menghasilkan pengetahuan obyektif mengenai masyarakat? Jika jawabannya TIDAK, maka mereka tidak bisa mempertahankan secara rasional kepercayaannya sendiri, termasuk kepercayaannya menyangkut pengondisian sosial. Jika jawabannya YA, maka mereka bisa secara absah mengklaim kebenaran bagi teori mereka sendiri, tetapi begitu juga adanya dengan setiap orang lainnya.

Argumentasi bias ideologis mirip dengan pendekatan lama, yang umum di abad 19, bahwa gagasan hanya merefleksikan “semangat” dari suatu zaman. Tetapi semua argumentasi seperti itu tidak membuktikan apa-apa karena mereka membuktikan segala hal. Tidak ada yang tidak bisa “dijelaskan” oleh pendekatan ini. setiap ide, setiap teori, setiap argumentasi, merefleksikan budaya intelektual zamannya dalam beberapa cara, jika hanya melalui bahasa konvensional yang digunakannya. Terlebih lagi, “semangat” suatu zaman tidak bisa menjelaskan hal yang paling penting, yakni perbedaan antara para filsuf kontemporer, ekonom, dan teoritisi sosial dari budaya yang sama.

Sering dikatakan bahwa perubahan intelektual penting selalu didahului oleh perubahan sosial penting, dan karenanya yang pertama disebabkan oleh yang terakhir. Ini adalah cara keliru dalam melihat persoalan, karena perubahan sosial sendiri merefleksikan perubahan dalam perspektif intelektual. Persepsi kita mengenai realitas sosial dibentuk oleh ide-ide kita mengenai institusi-institusi sosial, kausasi sosial, nilai-nilai sosial, dan sejenisnya. Mengatakan bahwa perubahan sosial meratakan jalan bagi revolusi dalam ide-ide sama dengan mengatakan bahwa banyak perubahan intelektual kecil dibutuhkan sebelum perubahan intelektual besar bisa terjadi.

Institusi bukanlah entitas fisik yang bisa dipersepsi oleh indra kita. Seperti yang dikatakan Herbert Spencer: “Kamu tidak bisa menyentuh atau melihat sebuah institusi politik: ia bisa diketahui hanya dengan imajinasi konstruktif.” Demikian juga, bagaimana kita memahami kausasi sosial tidak tergantung pada indra kita saja, tapi pada ide-ide kita mengenai sifat manusia dan tindakan manusia. Seperti yang dikatakan Max Weber, ide seseorang menentukan “citra dia atas dunia,” dan citra itu “seperti pengatur lalu lintas, menentukan jalan di atas apa tindakan didorong oleh dinamika kepentingan.”

Maka cara bagaimana kita memikirkan entitas-entitas sosial akan sangat mempengaruhi bagaimana kita mempersepsi entitas-entitas tersebut. Kita kaum libertarian mengetahui ini dari pengalaman, menjumpai banyak orang yang tampak “melihat” pemerintah secara berbeda dari kita. Beberapa pihak tidak melihat pemerintah pada hakekatnya koersif; mereka bahkan melihat pajak sebagai sesuatu yang bersifat sukarela. Perbedaan dalam persepsi sosial merupakan hasil dari cara melihat realitas sosial lewat perbedaan lensa ideologis. Ideologi itu mutlak perlu bagi keberhasilan gerakan libertarian karena membentuk kerangka acuan bersama. Jika kita gagal meyakinkan rata-rata orang, ini seringkali karena kita melihat realitas sosial yang berbeda daripada rata-rata orang.

Pentingnya ide-ide menjadi sangat jelas, dan terkadang menyakitkan, saat kaum libertarian berusaha menjelaskan efek merusak dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Mengutip F. A. Hayek (Law, Legislation, and Liberty, II, hal. 56): “Karena nilai kebebasan bertumpu pada kesempatan yang diberikannya pada tindakan yaaang tidak teramalkan dan tidak terduga, maka kita akan sulit mengetahui apa hilang dari kita lewat restriksi atas kebebasan tertentu.” Akibat langsung dan berjangka pendek dari intervensi atas pasar akan tampak dalam banyak bentuk, tetapi kita tidak akan tahu semua kesempatan kongkret yang telah hilang akibat intervensi tersebut. Ini berarti argumentasi pasar bebas terkadang akan kalah dalam analisis biaya-manfaat, karena manfaat intervensi bisa “dilihat,” sementara biayanya (kesempatan yang tidak disadari) tetap tinggal “tak terlihat.”

Konsekuensinya, putusan kebijakan didasarkan pada kegunaan dan bukan pada prinsip, “kebebasan akan dikorbankan dalam hampir setiap saat.” Hayek (hal. 61) melanjutkan:

“Pemeliharaan atas sistem kebebasan sangat sulit dilakukan karena membutuhkan penolakan terus menerus atas ukuran-ukuran yang tampak dibutuhkan untuk mengamankan hasil-hasil tertentu, pada dasar yang tidak lebih kuat dari konflik mereka dengan aturan umum, dan seringkali tanpa pengetahuan kita pada apa yang akan menjadi biaya karena tidak mengamati aturan tersebut dalam contoh tertentu. Pembelaan yang berhasil atas kebebasan karenanya harus bersifat dogmatik dan tidak membuat konsesi dengan kegunaan… Kebebasan hanya akan menang jika diterima sebagai prinsip umum yang penerapannya pada contoh-contoh tertentu tidak membutuhkan pembenaran.”

Arti penting dari ungkapan di atas tidak bisa dilebih-lebihkan lagi. Interaksi dunia sosial lebih banyak terdiri dari gerakan-gerakan fisik umat manusia. Pada puncaknya ia adalah sebuah dunia subyektif, dunia yang disaring lewat asumsi-asumsi, premis-premis, dan prasangka-prasangka ideologis. Dunia sosial dibentuk oleh ide-ide yang dimiliki orang. Jika kaum libertarian bisa mengubah ide-ide tersebut, maka mereka akan bisa, dalam arti yang sangat harafiah, mengubah dunia.

Diterjemahkan oleh Amato dari http://www.libertarianism.org/columns/ideas-human-action-social-change

Rabu, 17 Desember 2014

SEBUAH KADO ULANG TAHUN

Sehan Salim Landjar
17 Desember 1963 – 17 Desember 2014


1 dari 17
Suatu hari, di masa kecilnya yang jauh, Sehan memetik matahari dan menanamnya di sudut sebuah rumah di antara masjid desa Togid dan tempat dia biasa bersembunyi dari kerinduan ibunya. Waktu itu dia berumur sekira enam tahun. Tapi menurut informasi terakhir yang disampaikan kepadaku oleh beberapa orang tua dari keluarga ibunya, kemungkinan besar saat itu Sehan sudah menginjak remaja, antara dua belas hingga lima belas tahun. Dan matahari itu dia tanam pada malam hari di bawah sebuah pohon tempat dia biasanya melepaskan penat kenakalannya.

Lalu Sehan menjadi dirinya dalam kegelisahan yang mencatatkan namanya pada dua titik, ambisi dan rasa sepi. Ambisi memberinya sebuah taman dengan berbagai macam kelinci warna-warni. Dua ribuan tahun yang lalu Aristoteles menyebut taman itu sebagai politik. Sedangkan rasa sepi membentuk dirinya sepanjang jalan bolak balik Bolaang Mongondow – Gorontalo – Bolaang Mongondow dan dunia yang dipenuhi warung kopi. Pada sela antara kedua titik itu, Sehan menggunting kumis, mengancing baju, tersenyum, dan berpidato.

Juga membangun keluarga. 

Ketika menikah, cintanya gemetar. Sehan mengumpulkannya pada kedua telapak tangannya seperti sedang meraup air. Dia menatap istrinya, waktu itu, dan menemukan kepalanya sendiri yang dipenuhi terlalu banyak harapan, gagasan, dan kenyataan yang mengganti sore harinya dengan kegelisahan. Pun ketika satu demi satu anak-anaknya lahir, cintanya masih juga gemetar; cair dan mengalir di sela-sela jarinya seperti sisa basah orang yang usai berwudhu. Karena cinta, dalam catatan biografis Sehan, bukanlah titik yang lain tapi sebuah perhinggaan ketika penat menjadi pekat.

2 dari 17
Pada sebuah acara di Gorontalo, Sehan menyanyikan sebuah lagu lama. Empat bulan setelah itu dia terpilih menjadi wakil rakyat di negeri jagung yang konon memasuki modernisme kapitalis lewat semangat dagang lelaki Bugis dan erotisme perempuan Mongondow. Pada waktu itu, Sehan masih seorang pemuda desa Togid yang sedang berupaya menerjemahkan Indonesia dalam bahasa politik lokal Gorontalo. Dan meskipun waktu itu Sehan tidak tahu cara mengenakan sepatu sambil mendeklamasikan puisi-puisi Chairil Anwar, dia sudah mengembangkan sebuah gagasan Realpolitik yang, di buku-buku teori politik, biasa disebut sebagai populisme; lengkap dengan sepatu dan beberapa bait puisi.

Sehan kemudian menjadi identik dengan, di satu sisi, demagogi sebagai akibat dari ambisi politik dan, di sisi lain, keyakinan yang terbilang fanatik akan realitas suara rakyat sebagai kedaulatan tertinggi. Bagi Sehan, suara rakyat jadi penting bukan karena jumlah yang harus dia kumpulkan untuk mendapatkan jabatan, bukan pula semata legitimasi yang acap dia upayakan dengan berbagai macam jargon, tapi keramaian eksistensial yang bisa melepaskannya dari kerkah rasa sepi. Dalam sejarah, aku mengenal dua politisi yang paling kesepian, Robespierre dan Bismarck. Ketika bertemu Sehan pertama kalinya, aku menjabat tangannya dan menemukan politisi ketiga yang paling kesepian.

Bukan kebetulan bahwa Sehan memiliki kualitas politik untuk membangun “Reign of Terror” di satu sisi, dan keyakinan yang mendalam atas power politics, di sisi lainnya. Tapi dia masih harus menafsirkan banyak ramalan bapaknya ketika politik telah menjadi darah dan dagingnya. Maka dengan kemeja putih lengan pendek, beberapa titik keringat di dahi, asap rokok, dan mata menyala-nyala, Sehan mengubah kampung halamannya, yang baru dilahirkan sebagai sebuah kabupaten, Boltim, menjadi medan politik yang tidak pernah usai. Dan dia melakukan itu dari pinggir jalan desa Tombolikat dalam kampanye pemilihan bupati yang mengharu biru kenangan kita akan persaingan politik lokal.

3 dari 17
Dua hari yang lalu aku membuat catatan dan menemukan Sehan di dalam puisi Goenawan Mohammad, Kwatrin tentang Sebuah Poci. Ini harus ditanggapi serius sebab jarak antara kebanggaan dan kemungkinan kelak retak dalam hampir semua yang dilakukan Sehan di keramaian tidak pernah sama dengan kebutuhannya akan sepi. Dia bukan wajahmu pada keramik tanpa nama yang kulihat itu. Ketika berdiri di keramaian, di taman yang disebut oleh Aristoteles, dua ribuan tahun lalu, sebagai politik, Sehan adalah itu dari sebuah keramik tanpa nama.

Artinya, dia selalu berada pada mata penyair yang belum tolol akan apa yang tidak ada. Pada moment of indecision yang menghubungkan antara keraguan para penyair dengan kecintaan mereka akan kata yang dalam kasus Sehan menjadi proses bagaimana ambisi menggerus imajinasi Sehan, mengubah taman itu menjadi lahan kekeliruan-kekeliruan kecil yang membuat kita mampu untuk menyaksikan tidak hanya Sehan yang kelak retak (itu pada keramik) tapi juga kemungkinan dari sebuah mata yang ternyata belum tolol untuk melihat sesuatu yang tak ada namun begitu suntuk dipikul olehnya.

Sehan membaringkan tubuhnya di pasir pantai. Matanya terkatup rapat dan telinganya mendengarkan dendang ombak. Dia seharusnya rindu pada rasa sepi yang bisa memberinya kesempatan untuk sekedar lengah dan kembali menjadi dirinya seperti ketika dipanggil bapaknya pada pagi sebelum dia memetik matahari di masa lalunya yang jauh.

4 dari 17
Setiap orang akan mengingat apa yang bisa mereka kenang dari Sehan tapi tidak setiap orang masih bisa mengingat bahwa dia pernah memetik matahari di masa lalunya yang jauh, termasuk Sehan sendiri. 

5 dari 17
Baiklah, mungkin pada akhirnya Sehan bukan segala-galanya, bahkan bagi dirinya sendiri. Dia tidak memiliki pandangan romantis akan “aku” sebagai pusat dunia. Dia tidak membaca Max Stirner atau Ayn Rand, dan jikapun membacanya, dia mungkin tidak akan setuju. Tapi, bagaimanapun juga, Sehan adalah contoh kecil yang bagus dari pemahaman, sadar atau tidak, bahwa altruisme, seperti yang dipikirkan Rand, telah menikam politik tidak hanya dengan totalitarianisme atau perbudakan ras manusia, tapi juga dengan “niat baik altruistis” itu sendiri. Ketika individu, secara romantis atau tidak, menjadi modus epistemik dari ketidaktahuan kita akan beban-beban kemanusiaan yang harus kita tanggung dari ambisi politik atas nama “setiap orang lainnya selain aku.”

Sehan kerap mendendangkan altruisme semacam itu dalam pidatonya yang selalu memukau. Dan seperti kebanyakan politisi populis lainnya, mengucapkan “rakyat” dalam bahasa yang manis sebagai “aku” dalam struktur yang menghubungkan antara negara dengan kepemimpinan politik yang “kebetulan” secara konstitusional berada dalam “tanggung jawabku” sebagai yang dipilih. Tanggung jawab dalam sebuah penafsiran aneh yang selalu luput dari pertanyaan sederhana, “kenapa harus “aku” yang mengucapkan itu?” 

Ini adalah paradoks dari para politisi yang tidak pernah belajar bagaimana mengenakan sepatu sambil mendeklamasikan puisi-puisi Chairil Anwar. Yang terbaik di antara mereka, seperti Sehan, tidak hanya perlahan-lahan akan kehilangan imajinasi mereka tapi juga masa lalu mereka sendiri lengkap dengan segala mukjizat yang mereka miliki waktu itu, seperti memetik matahari atau mengatakan “aku” dan memahaminya secara intuitif.

6 dari 17
Tidak setiap kali melihat Boltim aku akan melihat Sehan tapi setiap kali melihat Sehan aku akan melihat Boltim. Bukan hanya karena dua hari yang lalu aku mendengar kabar bahwa Sehan telah terpilih sebagai bupati di situ, bukan pula karena, tiga tahun kemudian, aku sempat mencatat bagaimana dia berupaya menyumbangkan definisi atas Boltim dalam langkah politiknya (sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi, kata Mas Goen), bukan pula karena aku selalu suka cara dia menceritakan Boltim dalam baik dan buruknya, tapi karena Sehan telah terlanjur menjadi Boltim dalam baik dan buruknya.

Kapan itu dimulai? Kapan pertama kalinya presentasi dan representasi Boltim melebur dalam Sehan sebagai sebuah pribadi? Kapan mulut kita, termasuk mulut paling kasar dari mereka yang tidak menyukai Sehan – untuk alasan politik maupun pribadi, sulit menemukan kata yang dapat mencuri Boltim dari seorang Sehan? 

Beberapa bulan sebelum memutuskan untuk berhenti mengunjungi Boltim dalam waktu yang lama, aku menerima undangan minum kopi salah seorang saudara jauh Sehan. Setelah saling bertukar cerita dalam ribuan kata, dia bertanya padaku, “Apakah Sehan akan kembali terpilih jadi Bupati Boltim?” Aku tidak pintar dalam melakukan perhitungan politik, aku bahkan tidak pernah tahu kenapa hitung-hitungan seperti itu penting. Tapi aku tidak terlalu tolol untuk tahu bahwa masyarakat dulu memilih Sehan bukan karena dia secara politis maupun personal lebih baik dari lawan-lawannya waktu itu, tapi karena masyarakat selalu melihat Boltim ketika mereka melihat Sehan.

7 dari 17
Di penghujung tahun 1963, ketika Sehan dilahirkan, Indonesia adalah yang-politik dalam model antagonisme Schmittian. Tapi di Boltim, yang waktu itu belum bernama Boltim, bahkan rumputan masih bisa mengucapkan sukur moanto. Sedemikian sehingga Sehan mengerti dengan baik bahwa sebuah pemberian, jasa atau harta, bahkan nyawa, tidak pernah akan menjadi sia-sia. Demikianlah dia kemudian belajar menjadi seorang “pemberi” dengan model ketulusan yang unik antara perasaan puas karena mampu memberi dengan kesabaran untuk ditinggalkan, bahkan dimusuhi, setelah dia berikan. Sehan sendiri tidak pernah menyebutnya pemberian. Dalam sebuah obrolan ketika makan siang dengannya, Sehan menyebutnya “berbagi.” 

Yang unik, Sehan merayakan kehadirannya di taman yang dipenuhi kelinci warna-warni itu dengan kehendak yang kuat untuk berbagi. Tapi itu tidak hadir sebagai substitusi taktis atas kehendak akan kekuasaan tetapi lebih merupakan fiksasi politis dari hasrat masokistis yang telah dia represi sejak awal dia berlatih untuk menerima politik sebagai ego antara godaan id dari prinsip kenikmatan dengan ancaman superego dari prinsip kenyataan. Kehendaknya untuk berbagi lebih merupakan upayanya untuk mempertahankan kenikmatan libidinal menjadi orang yang mampu daripada sebagai upaya untuk berdamai dengan kenyataan.

Maka setiap kali Sehan memberiku sejumlah uang (yang tidak pernah sedikit), aku tidak pernah terpikir untuk berterima kasih atau hendak membalas budi karena prinsip utama dari “kehendak untuk berbagi” adalah “aku tidak memberi apa-apa kepadamu kecuali menitipkan kepercayaan.” Maka ketika aku meninggalkan Boltim sekira setahun yang lalu, aku tidak pernah keliru menafsirkan bahwa aku memang kecewa pada bupati Boltim waktu itu tapi tidak pernah kecewa pada seorang Sehan. Aku ingin menjadi adik seorang Sehan, bukan menjadi sahabat seorang bupati. Dan itulah alasannya kenapa aku tidak pernah malu minta uang padanya tapi tidak pernah sekalipun terpikir untuk meminta proyek.

8 dari 17
Aku pernah bekerja (tanpa tahu apa yang kukerjakan) sebagai staf khusus bupati Boltim bidang politik, sosial dan budaya. Dan itu adalah sebuah kekeliruan karena pekerjaan itu membuat aku justru jadi berjarak dari Sehan. Tapi, di dalam lingkar pekerjaan itulah, aku berkesempatan untuk melihat Sehan sebagai seorang bupati. Dan apa yang kutemukan membutuhkan satu tahun perenungan sebelum bisa aku tuliskan dalam kado ulang tahun ini.

Yang pertama, jabatan sebagai bupati telah melenyapkan ingatan semua orang bahwa Sehan adalah anak kecil (atau remaja nakal) yang pernah memetik matahari dan menanamnya di suatu tempat. Tapi yang terutama, jabatan itu telah membuat Sehan sendiri lupa bahwa dia pernah melakukan itu. Atau, seperti yang pernah dikatakan Umi Siwin, istrinya, jabatan sebagai bupati telah membuat Sehan lupa pada masa kanak-kanaknya, bukan lupa pada apa yang terjadi dengan masa kecilnya tapi lupa bagaimana mengingat semua itu tanpa jabatannya. 

Yang kedua, jabatan bupati, entah karena beratnya tanggung jawab atau karena besarnya kekuasaan, telah membuat Sehan sendiri semakin tampak menciut dari hari ke hari. Dan semakin kecil Sehan dalam jabatannya itu, semakin lemah dia untuk mengatakan “aku” bahkan kepada dirinya sendiri. Akibatnya, dia membutuhkan kata lain untuk mengucapkan “aku” dan sering menggantinya dengan berbagai kata lainnya, seperti “rakyat” atau “hukum” atau bahkan hanya sekedar menggumam.

Yang ketiga, aku baru mengenal Sehan setelah dia menjadi bupati. Aku bahkan tidak tahu apakah aku akan pernah mengenalnya jika dia tidak menjadi bupati. Tapi aku, serta beberapa orang lainnya, tahu betul bahwa jabatan itu sesungguhnya lebih kecil dari kapasitasnya sebagai seorang politisi. Dan itulah yang membawa aku dalam rasa kecewa. Sehan tidak lagi punya mimpi karena telah terjebak dalam rutinitas jabatannya, menjadi bagian dari mesin birokrasi. Aku, waktu itu, kecewa karena Sehan tidak lagi terlihat sama dengan orang yang pertama kukenal begitu sadar dengan ucapannya bahwa bupati adalah jabatan politik bukan sekrup dari mesin birokrasi negara.

9 dari 17
Maka beberapa bulan yang lalu, ketika kebanyakan orang yang mengenal Sehan sedang membicarakan kemungkinannya untuk kembali bertarung sebagai bupati, aku justru mengumpulkan sedikit kawan yang terbiasa berpikir rumit untuk mendiskusikan kemungkinan mendorong Sehan, sekalipun hanya namanya, menjadi simbol dari apa yang kami sebut sebagai gerakan politik lokal. Hasilnya, aku membentuk populus, sebuah ruang intelektual yang aku harap mampu merumuskan taktik dan strategi bagi sebuah gerakan. Tiga bulan kemudian, aku menemukan nama untuk gerakan itu, “SLaP!” Sebuah singkatan yang terasa akrab dari “Sehan Landjar and the People!”

Politik adalah cerita tentang kekuasaan dan bagaimana cara untuk mencapai, merebut dan mempertahankannya. Begitu juga dengan jabatan. Sebuah cara bagi seorang politisi untuk tampil dan bicara serta, terutama, menggunakan kekuasaannya. Aku ingin Sehan memainkan itu semua tanpa terantuk pada kerikil apapun untuk menjadi begitu suntuk dalam jabatannya dan lupa bahwa itu hanyalah pakaian yang dia kenakan sebagai seorang politisi. Aku ingin SLaP! berfungsi dari suatu jarak tertentu agar mampu menghubungkan antara Sehan dengan muasalnya sebagai seorang politisi. Sembari mengulang apa yang sudah ada dalam pikirannya, meski belum pernah terumuskan secara jelas, bahwa apa yang disebut politik nasional sesungguhnya hanyalah abstraksi dari politik lokal. Dan Sehan adalah salah satu aktornya.

10 dari 17
Eang berdiri di antara pohon kayu tua dan garis matahari,
bayangannya menyelinap seperti anak kecil yang sedang bermain 
baka-baka sambunyi.
Waktu itu dia berumur hampir lima puluh satu tahun dengan senyum 
yang berusia lebih muda 12 tahun.
Kumis dan janggutnya membentuk garis wibawa yang aneh, mengingatkan aku
pada makna yang selalu berubah dari usia yang tidak sanggup kita genggam
dengan pengetahuan akan waktu; Bergson menyebutnya sebagai la duree.

Tapi beberapa minggu yang lalu Eang mengaku sudah tua, dia adalah pohon
pada garis matahari. Aku melihatnya sebagai mimpi 60 ribu orang Boltim dan 0,6%
politisi di dalamnya, dia kembali tersenyum dan aku ingin mendengar ceritanya.
Lalu hari itu, seperti hari-hari yang lain, dia masih di sini dan aku hanya bisa 
mendengar kabar sambil menulis satu demi satu kata untuk mengucapkan kembali
dalam bahasa aku sendiri apa yang dia lakukan sebagai seorang politisi di ujung
usia lima puluh tahun.

Sepoi angin, gugur daun, dan kepak sayap kupu-kupu 
adalah pagi sehari sebelum Eang mendengar kabar kelahirannya
sendiri. Lima puluh satu tahun dan kenangan yang bergerak perlahan 
dari ujung ombak menuju puncak pohon tua yang membelah Boltim 
menjadi Eyang dan garis matahari dan doa yang diucapkan dengan 
berbisik dan anak-anak sekolah dasar yang menyanyikan Padamu 
Negeri dan Nasrudin Dilapanga dengan baju seragam PNS-nya 
dan puntung rokok pada asbak sisa birahi semalam dan listrik yang 
selalu berhenti berfungsi seperti akal sehat PLN dan seorang ibu muda 
yang sedang hamil tua dan bau dingin yang lamat-lamat bercampur 
dengan wangi kembang dan segala sesuatunya yang membuat kita
sadar bahwa ada yang harus diucapkan ketika sunyi tak lagi menjadi
berkah.

Di situ, Eang berdiri di antara pohon kayu tua dan garis matahari,
bayangannya menyelinap seperti anak kecil yang mengucapkan dengan riang,
“selamat hari jadi, Eang.”

11 dari 17
Ada beberapa konsep yang bisa dituliskan mengenai Sehan dan apa yang telah dia kerjakan selama lima tahun menjadi bupati Boltim. Tapi selama dia masih bergerak, badai masih mungkin. Politik, seperti kelakuan Sehan sendiri, adalah perwujudan gerak yang nyaris abadi. Di dalamnya waktu menjadi kemustahilan matematis bagi perhitungan kita akan kemajuan. Sehan sering membicarakan itu dalam bahasa yang cenderung fungsional, seperti membangun jalan, mendirikan sekolah atau memperbaiki tingkat pendapatan masyarakat. Tapi imajinasi politik membutuhkan lebih dari sekedar kemampuan membuat rencana teknis administratif. Imajinasi politik adalah apa yang membuat gerak menjadi abadi sekalipun dalam diam.

Keunggulan politik Sehan tidak terletak dari kemampuannya untuk menciptakan gerak yang selalu memaksa lawan maupun kawannya untuk terus memalingkan wajah dan/atau melirikkan mata, tidak juga dari intuisinya yang selalu mampu membuatnya bergerak dalam ritme yang terlalu acak untuk bisa diikuti oleh lawan dan kawannya, tapi semata terletak pada presisi hitungannya untuk mengubah gerakan. Kebanyakan orang menganggap itu sebagai hasil dari sejenis kecerdasan politis, aku memahaminya sebagai bakat Sehan untuk menemukan yang-puitik dalam yang-politik.

Seperti ketika dia menggerakkan banyak rekan politisinya untuk kembali meneriakkan Probomoya alias Provinsi Bolaang Mongondow Raya beberapa tahun yang lalu. Gerak menjadi apa yang nyata dalam taktik politik Sehan. Dan ketika kita tahu bahwa perjuangan bagi pengakuan Probomoya ternyata membutuhkan daya tempur yang jauh lebih sungguh-sungguh dari apa yang telah diperkirakan sebelumnya, Sehan mencoba untuk kembali pada imajinasi politiknya. Aku belum tahu bagaimana mimpinya soal itu setelah kami tidak lagi bertemu selama selang setahun tapi aku bisa memastikan bahwa ini adalah waktu baginya untuk berada dalam transisi mengubah gerakan.
Sehan, jika ada yang masih tersisa darinya setelah lima tahun lintang pukang menerjemahkan tugasnya sebagai seorang bupati, adalah sebuah gerakan politik.

12 dari 17
Sore itu, tiga tahun yang lalu, aku meringkuk dalam dingin udara Guaan. Menunggu para petani dan anak-anak sekolah untuk berlatih teater. Sinar matahari memberi terang yang mengejek kemampuanku untuk membedakan antara hasrat akan keberhasilan sebuah upaya dengan kemungkinan menciptakan sebuah karya seni. Setelah lewat sekitar 15 menit, aku baru sadar bahwa aku sedang berada di sebuah sisi lain dari Boltim. Bukan hanya lain dalam pengertian geografis tapi juga lain dalam arti budaya.

Pada sore yang nyaris sama, dua tahun kemudian, aku duduk di rumah dinas bupati Boltim mendengarkan seorang sangadi dari kecamatan Nuangan membicarakan tentang identitas orang Boltim (tentu dalam bahasa yang jauh lebih sederhana dari yang aku tuliskan). Waktu itu Sehan mendefinisikan dengan tegas apa yang dia pahami tentang identitas orang Boltim, “Orang Boltim tidak dijelaskan oleh identitas apapun kecuali oleh kepentingannya sendiri,” katanya, “selama kamu makan dan tidur di atas tanah Boltim dan perduli dengan semua itu, maka kamu adalah orang Boltim.”

Ini tentu saja adalah definisi yang sangat luas, bersifat politis, namun cukup untuk memberi tempat bagi mereka yang berada di “sisi lain” dari Boltim. Sehari setelah itu aku ke Guaan, mengunjungi kembali “sisi lain” dari Boltim yang oleh Sehan disebut sebagai sisi yang membuat Boltim menjadi Boltim. Aku tidak berbicara tentang politik dengan mereka, apalagi tentang Sehan. Aku membicarakan tentang rencanaku untuk kembali membuat pertunjukan teater di desa mereka.

13 dari 17
Kemarin malam aku bermimpi tentang seorang bocah kurus berkulit gelap yang memetik matahari dan menanamnya di sudut sebuah rumah di antara masjid desa Togid dan tempat dia biasa bersembunyi dari kerinduan ibunya.

14 dari 17
Kemarin pagi seorang kawan bertanya kenapa aku tidak pernah menulis tentang Sehan kecuali selalu dengan kata politik. Aku ingat bahwa aku pernah menulis tentang Sehan tanpa satupun kata politik di dalamnya dan hasilnya adalah sebuah penyimpangan logika yang cukup parah. Aku tidak pernah bisa menuliskan Sehan tanpa menuliskan politik. Dan ini menjelaskan dengan cara yang cukup samar kenapa aku selalu bisa menemukan Sehan, dalam baik dan buruknya, sebagai inspirasi bagi tulisanku yang selalu berangkat dari perspektif filsafat (masih banyak orang yang mengira bahwa aku menulis tentang politik).

Siangnya, ketika masih di kantor, aku mencoba membuat sebuah catatan kecil tentang Sehan. Itu akan menjadi kado ulang tahun saya kepadanya. Tapi yang aku tulis justru adalah sebuah kajian separuh jadi tentang hubungan antara masa kecil Sehan dengan langkah politiknya saat ini dalam perspektif psikoanalisa Lacanian. Pada saat itu aku menemukan permainan imajinatif yang menarik antara Sehan dan matahari sebagai simbolisasi dari “sesuatu” yang tidak pernah bisa aku pahami dari Sehan hingga saat ini. “Sesuatu” yang aku yakin akan menjadi lebih jelas jika aku bisa mengenal Sehan di masa kecilnya.

“Sesuatu” yang dengan imajinasi puitis yang aku miliki, berubah menjadi cerita tentang Sehan yang memetik matahari di masa kecilnya.

15 dari 17
Tapi Sehan memang pernah memetik matahari di suatu masa kecilnya yang jauh. Aku pikir waktu itu dia sedang lari dari panggilan ibunya karena tidak mau mandi. Menemukan matahari di sela rimbun daun pohon, Sehan memanjat pohon itu dan memetik matahari. Tangannya terbakar tapi Sehan yang sedang marah tidak merasakan perih yang seharusnya. Dia melompat turun dari pohon itu dengan tangan yang masih menggenggam matahari.

Kemarahannya tampak lucu karena matanya tidak mampu menembus pancaran sinar matahari hingga harus dia picingkan, membuat wajahnya menjadi seperti tokoh-tokoh bayi dalam film kartun akhir tahun 70an dan semakin menjadi lucu karena dia sedang marah. Kita tentunya tidak bisa membayangkan Sehan yang marah tanpa mata yang terbuka lebar. Boltim, yang waktu itu belum bernama Boltim, seketika menemukan sore hari yang aneh. Tidak ada langit berwarna tembaga sebagaimana setiap menjelang senja karena tidak ada matahari yang sedang tenggelam.

Matahari itu telah dibawa Sehan yang memetiknya dengan marah. Satu-satunya saksi mata yang sempat melihat Sehan menggenggam matahari adalah seorang gadis kecil yang sedang belajar berjalan. Tapi kita tidak bisa meminta kesaksiannya, bukan saja karena gadis kecil itu masih terlalu kecil untuk memahami apa yang dilakukan Sehan saat itu, tapi juga karena dia tidak pernah menjadi dewasa seperti Sehan (bahkan hingga saat ini Sigi, nama gadis kecil itu, belum juga berumur lima tahun). 

Lalu Sehan menanam matahari itu ketika dia kembali mendengar panggilan ibunya. Dan Boltim, yang waktu itu belum bernama Boltim, memasuki malam bersamaan dengan kemunculan Sehan di depan pintu rumahnya. Sehan waktu itu baru berumur enam tahun. 

16 dari 17
Siddharta Gautama menemukan tiga sumber kesengsaraan manusia sebagai entitas fisik: manusia mengenal sakit, manusia akan menjadi tua, dan manusia akan mati. Tapi dengan kearifannya yang melampaui batas lingkar semesta, putra Kavilawastu yang kemudian lebih kita kenal sebagai sang Buddha itu, memahami dengan sempurna bahwa penderitaan manusia telah dimulai jauh sebelum rasa sakit, usia tua, dan kematian datang menghampirinya. Akar penderitaan kita, kira-kira demikian dharma sang Buddha, adalah karena kita telah dilahirkan. 

Sekira lima ratus tahun kemudian, seorang filsuf-politisi Marcus Aurelius Cicero menulis tentang empat problem utama menjadi bertambah tua dalam bukunya On Old Age: semakin sulit bekerja, tubuh menjadi semakin lemah, kesenangan dalam hal fisik semakin menghilang, dan kematian semakin mendekat. Namun sebagai pengikut Stoisisme, Cicero tidak menuliskan fakta itu dengan kecemasan atau rasa duka. Dia memahaminya sebagai hal yang tidak bisa kita ubah dan, pada jantung ajaran Stoisisme, kita akan temukan nasehat yang arif itu, “terimalah apa yang tidak bisa kita ubah.” Karena sikap kita akan apa yang terjadi, seperti datangnya usia tua, itulah yang akan menentukan apakah usia kita datang sebagai bencana atau justru merupakan rahmat.

Hari ini, lima puluh satu tahun yang lalu, Sehan dilahirkan. Usia tua telah menjadi bayang dari kehadiran eksistensialnya di atas dunia, dengan diri dan tubuhnya. Tapi bagi seorang politisi yang bisa menyanyi, 51 tahun hanyalah awal dari sebuah kisah yang lain. Tahun depan Sehan akan kembali bertarung untuk kembali menduduki kursi bupati Boltim. Dan lima tahun kemudian dia akan kembali bertarung untuk kekuasaan lainnya. Dan begitu seterusnya pada lima tahun berikutnya dan berikutnya lagi. 

Dalam kasus biografis Sehan, itu adalah perjalanan pulang pergi dari titik ambisi ke rasa sepi yang harus dia tanggungkan sebagai seorang politisi. Dan aku yakin dia bisa melakukannya selama ada warung kopi yang bisa disinggahinya dalam perjalanan itu serta, tentu saja, keluarga untuk melepas lelah dan resah dari perjalanan itu.

17 dari 17
Selamat ulang tahun yang ke lima puluh satu buat kakanda Sehan Salim Landjar.


Manado, 17 Desember 2014
Amato Assagaf

Kamis, 27 November 2014

MENANTI POLITISI LIBERTARIAN

Apakah saat ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk mendorong kemunculan para politisi libertarian di Indonesia? Lepas dari semua spekulasi mengenai prospek pemerintahan Jokowi-JK yang baru memulai pekerjaan mereka, saat ini adalah saat yang bisa dianggap sebagai saat-saat penting dalam kehidupan berbangsa kita. Saya menyebutnya momen ideal dalam kehidupan politik, di mana sebuah ideal, sekumpulan gagasan politik, harus diajukan. Kepemimpinan populistis Jokowi, perseteruan dalam parlemen (mengikuti kemenangan Jokowi), persoalan beberapa UU non-produktif dan non-demokratis yang bisa jadi akan terus diproduksi serta, terutama, semakin terlibatnya rakyat dalam semua itu, adalah saat di mana politik bukan lagi menjadi panglima tapi sang kaisar.

Dalam situasi ini, sekali lagi, bolehkah kita berharap akan munculnya para politisi libertarian? Saya kira tidak. Momen ideal yang ditunjukkan oleh situasi politik kita saat ini tidak harus kita jawab dengan memunculkan para politisi libertarian. Bukan hanya karena kita belum memiliki politisi seperti itu tapi karena langkah sejarah belum menunjukkan pada kita kegentingan sekaligus kearifan untuk memaksakan kemunculannya. Meski begitu, kita sudah tiba pada saat yang cukup tepat dalam memulai langkah untuk itu. Dan langkah awalnya, saya kira, adalah membangun basis organisasional untuk melakukan pengkaderan politisi libertarian.

Tentu saja kita harus tahu bahwa gagasan libertarian sudah tidak bisa lagi dianggap asing di republik ini. Dalam skala yang jauh lebih moderat, kita sudah melihat munculnya kelompok-kelompok liberal. Sebut saja lembaga seperti Freedom Institute Indonesia dengan kompatriotnya Akademi Merdeka yang merupakan lembaga pelatihan pemikiran liberal di Indonesia yang cukup rajin. Meski tak pernah jelas benar di mana posisi politik mereka dalam realitas politik kita hingga hari ini, namun apa yang mereka lakukan, dalam lembaganya masing-masing, sangat patut dihargai. Termasuk gonjang ganjing yang layak diacungi jempol yang telah dilakukan kelompok keagamaan liberal seperti Jaringan Islam Liberal.

Karena itu, meski gagasan mengenai kebebasan individu dan pasar bebas masih memiliki oponennya yang ngotot di Indonesia tetapi kecanggihan argumentatif untuk melakukan pembelaan atas gagasan-gagasan libertarian tersebut sudah menemukan pena dan pembacanya. Kita telah menyaksikan kelahiran para intelektual liberal, jika tidak bisa disebut libertarian, dalam beberapa dekade terakhir ini yang bukan hanya memiliki pembaca tapi juga pengikut. Maka persoalannya bagi kita saat ini, yakni saat di mana politik menjadi ukuran mati-hidup kita sebagai sebuah bangsa, aspirasi bagi munculnya para politisi libertarian tidak bisa lagi diabaikan – setidaknya bagi kaum libertarian sendiri.

Tetapi sejarah memiliki caranya sendiri untuk melangkah dan orang yang paling sukses dalam politik adalah mereka yang tahu cara sejarah melangkah dan siap untuk mengikuti, memanfaatkan, bahkan menungganginya. Saya tidak berbicara tentang langkah sejarah dalam kerangka berpikir Marxis tapi langkah sejarah sebagai pola acak perkembangan dan kemunduran sebuah bangsa dalam pertarungan antara negara dengan masyarakat sipil; dalam terma yang lebih ekonomis, pertarungan antara kelas non-produktif dengan kelas produktif atau, dalam terma yang lebih eksistensialis, pertarungan antara kehendak akan kekuasaan dengan kehendak akan kebebasan.

Pertarungan itu sendiri terkadang bersifat niskala karena dalam beberapa contoh ia bisa berganti rupa menjadi perselingkuhan. Secara politik, kita bisa melihat bagaimana para demagog, untuk kepentingan politik pribadi, cenderung memelintir gerakan masyarakat sipil menjadi gerakan yang justru semakin memperbanyak dan memperkuat tentakel leviathan negara. Secara ekonomi, kita bisa melihat bagaimana kelas produktif memanfaatkan kelas non-produktif dalam birokrasi pemerintahan untuk mendukung keuntungan ekonomi jangka pendek mereka lewat proteksi dan sejenisnya. Bahkan secara eksistensial kita tahu bahwa kehendak akan kekuasaan bersifat sama inheren dalam diri individu manusia sebagaimana kehendaknya akan kebebasan. Itulah kenapa, secara definitif, kita cenderung bingung membedakan antara kebebasan dengan kekuasaan (bahwa tidak mampu melakukan sesuatu bukan berarti tidak bebas melakukannya).

Dan dalam pola gerak langkah sejarah seperti itulah kita boleh mulai menebar bibit politisi libertarian sembari melakukan uji coba gagasan-gagasan libertarian dalam isu-isu politik, ekonomi, dan sosial kita saat ini. Perhatikan, yang saya maksudkan adalah gagasan libertarian, bukan sekedar gagasan liberal yang sudah sering kita dengar selama ini. Artinya, gagasan tentang politik pemerintahan minimal ala Ron Paul dan gagasan pasar bebas dalam landasan model ekonomi Austria seperti yang dia ajukan. Terdengar menyeramkan dan tak arif secara politis? Mungkin. Tapi bukankah itu makna yang sesungguhnya dari eksperimentasi? Seperti juga eksperimentasi beberapa kawan liberal yang bergabung dengan beberapa partai politik yang menurut saya jauh lebih menyeramkan dan sama sekali tak arif secara ideologis.

Saat ini, pada momen ideal ini, kita tentu saja baru boleh bermimpi menemukan figur politisi seperti Ron Paul di Indonesia. Tapi mimpi itu sudah boleh kita ceritakan ke teman-teman dan tetangga. Sudah boleh kita publikasikan dengan resiko dimaki-maki seperti biasa. Dan itu tidak masalah karena politik pada akhirnya adalah masalah praktis membawa bangsa kita melangkah ke masa depan. Dan rakyat, di manapun adanya, tidak akan peduli dengan nama-nama sejauh itu bisa meningkatkan taraf hidup dan kebebasan mereka. Namun sejarah belum cukup matang untuk memunculkan politisi libertarian di Indonesia. Kita masih harus menunggu dengan cara menebar bibit, termasuk menceritakan dengan keberanian yang cukup mimpi-mimpi kita itu.

Sekedar cerita

Ketika menceritakan mimpi seperti itu kepada seorang kawan, reaksinya sangat konservatif. Kenapa mengidolakan politisi Amerika? Apakah kita sudah kekurangan politisi ideal di negeri ini? Benar. Setidaknya pada hari ini, dan beberapa dekade ke belakang, saya tidak melihat ada politisi yang bisa saya anggap ideal. Meskipun saya masih terus mengembangkan simpati pada beberapa di antaranya, dalam kerangka Realpolitik yang sedang mereka hadapi, seperti Ahok.

Saya menemukan diskrepansi akut antara ideal politik para politisi dengan kemampuan berpolitik yang mereka miliki. Akbar Tanjung adalah contoh politisi dengan kemampuan berpolitik yang saya kagumi tapi ideal politiknya jelas menakutkan saya. Sebaliknya, tokoh seperti Ulil Abshar Abdalla, misalnya, memiliki ideal politik yang saya kagumi tapi dengan keahlian berpolitik yang sangat saya ragukan.

Tapi mungkin persoalannya tidak seserius itu, karena jika kawan saya itu boleh mengagumi Hugo Chaves dan sepupu saya mengagumi Ahmadinejad, kenapa saya tidak boleh mengagumi Ron Paul? Mungkin karena di panggung politik Indonesia hari ini, menemukan demagog seperti Hugo Chaves dan Ahmadinejad bukan hal yang sulit, tapi menemukan politisi seperti Ron Paul masih merupakan hal yang muskil.

Catatan: dalam definisi Google Translate, demagogue artinya a political leader who seeks support by appealing to popular desires and prejudices rather than by using rational argument.

Manado, November 2014
amato assagaf

Rabu, 26 November 2014

POLITIK, POLITISI DAN PENCITRAAN

I

Seorang politisi yang baik adalah gabungan yang seimbang antara gagasan besar, keahlian berpolitik, kerja keras, dan pencitraan. Gubernur Sulawesi Utara, S. H. Sarundajang tampaknya memahami hal itu meskipun tidak cukup lengkap dalam meramu dan menerapkannya. Harus kita akui bahwa sang gubernur memiliki gagasan besar, keahlian berpolitik, dan seorang pekerja keras. Tapi dalam masalah pencitraan, beliau tak lagi up-to-date bagi pasar politik kita hari ini.

Sebagai satu di antara sisa politisi yang membentuk dirinya di zaman Orde Baru, Sarundajang jelas sulit untuk memasuki lembar paling baru dari tuntutan pencitraan politik masa kini, yaitu figur dengan tipologi populisme kelas menengah yang jujur, bersih dan apa adanya. Pada model politisi seperti ini, luapan emosi yang diimbangi dengan plastisitas otot wajah adalah ketrampilan wajib. Apakah itu berarti Sarundajang adalah politisi yang tidak jujur, tidak bersih, dan tidak apa adanya? Sama sekali tidak. Apa yang hendak disampaikan di sini adalah niat yang baik dari sebuah kepribadian yang baik, dalam politik, membutuhkan cara yang tepat untuk diungkapkan.

Di zaman Orde Baru dan sedikit setelahnya, politisi dituntut untuk menjadi “tokoh dalam jabatan,” semacam karakter birokrat berwajah militer dan kebapakan. Luapan emosi adalah tindakan terlarang karena seorang politisi harus selalu tampak penuh kearifan. Karena itu mereka selalu memasang wajah serius, dan senyum atau kemarahan, harus diatur sesuai hirarki. Semakin tinggi jabatan, semakin arif menyembunyikan emosi. Sarundajang, bagaimanapun juga, tidak pernah mampu melepaskan diri dari model pemeranan citra seperti ini.

Dengan wajah terpelajar yang selalu tampak gagal untuk tersenyum, Sarundajang jelas bukan tipe politisi generasi populis seperti Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, atau Sehan Landjar. Sulit bagi kita untuk membayangkan Sarundajang melucu, menjerit marah, atau sekedar meluap-luap dalam emosi. Tetapi ada yang mungkin menyanggah bahwa persoalan politik bukan persoalan citra. Apalagi dalam sepuluh tahun masa kepemimpinan politik Susilo Bambang Yudhoyono, kita mempelajari pencitraan politik dengan cara yang keliru. Akibatnya cukup fatal, pencitraan dalam politik dianggap sebagai tindakan yang sudah negatif dari sononya.

Padahal, pencitraan atau bukan, memilih bagaimana kita harus tampil sebagai seorang politisi adalah tindakan yang sama pentingnya dengan memilih menjadi politisi itu sendiri. Seorang politisi tidak hanya dituntut, misalnya, untuk tahu apa yang harus dia ucapkan tapi bagaimana mengucapkannya. Salah satu debat presiden paling akbar dalam sejarah Amerika Serikat adalah debat JFK/Nixon. Kita tahu bersama bahwa Nixon kalah dalam debat itu bukan karena isi argumentasinya tapi karena JFK lebih tahu bagaimana cara menaiki podium, membedakan dirinya dari lawan, dan memainkan perannya di situ.

Masih dari Amerika Serikat, apa yang membuat John McCain kalah dari Barrack Obama dalam pemilihan presiden tahun 2008 bukan karena McCain tidak punya gagasan atau kurang ahli dalam berpolitik tapi karena Obama membawa citra the rise of America yang pernah diteriakkan oleh politisi cemerlang yang jatuh karena skandal, John Edwards. Setelah sepuluh tahun diharu-biru oleh konservatisme hawkish George W. Bush dengan kebijakan yang berhasil membawa Amerika Serikat menjadi musuh separuh jagad, Obama mampu menangkap bahwa apa yang dibutuhkan oleh rakyat Amerika saat itu adalah perubahan. Dia tidak hanya menjadikan itu sebagai isu kampanye tapi juga menghadirkan dirinya sebagai politisi yang dengannya perubahan itu bisa terwujud. Singkatnya, Obama mampu memenuhi tuntutan pasar politik Amerika saat itu.

Apa yang dipertunjukkan Obama jelas adalah taktik pencitraan yang efektif, dan kita tidak bisa menganggap hal itu sebagai tindakan maksiat. Pencitraan adalah bagian yang sah dan diperlukan dari sebuah proses politik. Apa yang salah dari pencitraan adalah ketika dia diajukan untuk memanipulasi persepsi publik atas suatu tindakan atau peristiwa politik. Kita menamakannya politik pencitraan. Tidak pantas, tentu saja, jika kita melakukan pencitraan dalam isu-isu penting seperti, misalnya, undang-undang pemilihan kepala daerah. Tapi memiliki penampilan politik untuk mengarahkan perhatian publik dan memperoleh dukungan mereka adalah bagian yang absah dari sebuah proses politik, jika bukannya suatu keharusan yang dituntut secara taktis. Kita menamakannya pencitraan politik.

S. H. Sarundajang adalah satu dari sedikit tokoh politik Indonesia dengan intelektualitas dan pengetahuan di atas rata-rata. Tapi hal itu dan hal-hal seperti itu tidak lagi cukup untuk dijadikan sebagai penampilan politik di negeri ini saat ini. Ada satu kualitas lain yang jelas sedang dicari dalam pasar politik kita, yang tampak sebagai urgensi, saat ini; kejujuran. Bersanding dengan citra bersih dan apa adanya, citra sebagai politisi jujur tak ayal membutuhkan penampilan yang juga mengesankan hal yang sama. Postur intelektualitas, yang kerap dimainkan Sarundajang selama ini, jelas bukanlah penampilan dasar yang bisa mendukung citra kejujuran. Pada kali lain, postur itu malah dapat menunjuk citra yang sebaliknya. Itulah kenapa populisme sering juga bermakna anti-intelektualisme (termasuk dalam gaya dan penampilan).

Sikap kalkulatif, analitis, intelektualistis, bermakna eksklusivisme. Dalam serbuan model politik populis saat ini, sikap seperti itu akan sulit laku di pasaran politik. Itulah jawaban di satu sisi kenapa Jokowi berhasil meraup prosentasi suara sedikit di atas Prabowo dalam pemilihan presiden RI baru-baru ini. Masyarakat kita memang membutuhkan ketegasan ala Prabowo tapi mereka sedikit lebih membutuhkan pemimpin yang, setidaknya, tampak mau dan mampu berbaur seperti Jokowi. Dalam pencitraan politik, inklusivisme seperti ini dapat disaksikan lewat penampilan yang jujur, bersih, dan apa adanya. Sama dengan dari penjumlahan ketiganya, dalam praktek, adalah seorang politisi yang selalu berbicara lepas dengan gaya yang sepenuhnya privat, humor pedas mendekati sarkasme, dan tindakan yang selalu diambil dalam pancaran aura keberanian untuk menabrak tembok (tanpa harus terlalu peduli apakah memang ada tembok yang harus ditabrak atau tidak).

II

Pencitraan politik Sarundajang jauh dari semua itu. Tapi apa peduli kita? Gubernur yang sebentar lagi akan menghabiskan masa jabatannya ini tampaknya tidak lagi terlalu membutuhkan pencitraan dalam karir politiknya sekarang. Dengan prestasinya yang cukup membanggakan selama karirnya sebagai politisi dan pejabat publik, Sarundajang jelas layak mendapatkan penghormatan kita. Tapi disebut dengan rasa hormat yang sama, beliau mestinya menjadi politisi terakhir dari kantong sejarah Orde Baru yang all exclusive di atas panggung politik lokal Sulawesi Utara. Setelah Sarundajang, kita membutuhkan perubahan yang bersifat total dalam preferensi politik publik saat ini. Kita harus memunculkan politisi yang dapat memberikan jaminan atas masa depan wilayah ini.

Jaminan apa? Jaminan bahwa Sulut memiliki tempat yang layak dalam ruang politik nasional republik ini. Dan kita boleh percaya bahwa keagenan seorang politisi dalam jabatan publik seperti gubernur memiliki arti yang cukup penting untuk tujuan itu. Dalam kerangka pencitraan politik, kita membutuhkan tokoh lokal yang mampu memutar lensa kamera nasional untuk menyorot provinsi ini. Dan itu berarti kita membutuhkan figur yang memiliki gagasan besar, keahlian berpolitik, dan pekerja keras seperti Sarundajang tapi dengan penampilan yang sama sekali berbeda dari mantan walikota administratif Bitung ini.

Realitas politik kita hari ini adalah riuh rendah problem kebhinekaan, korupsi, dan kebenaran politik dari semua isu tersebut di dalam kotak kaca televisi. Berbicara tentang penampilan seorang politisi adalah berbicara tentang realitas dalam kotak kaca tersebut. Di situ, dengan penampilan yang tepat, seorang politisi akan membawa manfaat bagi gagasan besar yang dia ajukan, keahlian berpolitik yang dia mainkan, dan kerja keras yang dia lakukan, yang tentu saja dia hadirkan demi kebaikan seluruh masyarakat di dalam wilayah kepemimpinannya. Sulawesi Utara, dengan kepemimpinan yang seperti itu, kepemimpinan yang memahami realitas problem kebenaran di dalam kotak kaca televisi, akan memiliki posisi tawar yang layak diperhitungkan dalam percaturan politik nasional.

Kenapa hal itu penting? Kenapa kita harus memiliki posisi tawar dalam percaturan politik nasional? Pertama, karena kita berada di wilayah timur Indonesia yang kadung menjadi anak tiri sejarah politik nasional dan kita harus melakukan koreksi. Kedua, karena dalam seluruh sejarah yang telah kita jalani dan dengan seluruh potensi yang kini kita miliki, Sulawesi Utara sudah layak untuk melakukan tawar menawar. Ketiga, karena semua politik itu bersifat lokal, dan apa yang kita sebut sebagai politik nasional hanyalah abstraksi dari dinamika politik lokal tersebut.


Persoalan yang tersisa, kebenaran politik dari kelayakan Sulawesi Utara untuk memiliki posisi tawar dalam percaturan politik nasional membutuhkan seorang juru bicara. Kita boleh menyebutnya seorang gubernur, dengan penampilan yang juga layak untuk memasuki realitas kotak kaca televisi tempat kebenaran itu dipertontonkan dan diperbincangkan. Dan demi kelayakan itu kita membutuhkan seorang gubernur dengan citra populis – untuk memenuhi tuntutan pasar politik nasional – yang secara administrasi anti-korupsi, secara ekonomi mendukung pasar, secara sosial sepenuhnya progresif, dan secara budaya menghargai keberagaman. Singkatnya, kita membutuhkan seorang politisi populis sayap kanan progresif dengan karakter gabungan antara penyair romantis, aktivis anarkis, eksekutif perusahaan multinasional, dan penyuluh program keluarga berencana.