Kamis, 27 November 2014

MENANTI POLITISI LIBERTARIAN

Apakah saat ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk mendorong kemunculan para politisi libertarian di Indonesia? Lepas dari semua spekulasi mengenai prospek pemerintahan Jokowi-JK yang baru memulai pekerjaan mereka, saat ini adalah saat yang bisa dianggap sebagai saat-saat penting dalam kehidupan berbangsa kita. Saya menyebutnya momen ideal dalam kehidupan politik, di mana sebuah ideal, sekumpulan gagasan politik, harus diajukan. Kepemimpinan populistis Jokowi, perseteruan dalam parlemen (mengikuti kemenangan Jokowi), persoalan beberapa UU non-produktif dan non-demokratis yang bisa jadi akan terus diproduksi serta, terutama, semakin terlibatnya rakyat dalam semua itu, adalah saat di mana politik bukan lagi menjadi panglima tapi sang kaisar.

Dalam situasi ini, sekali lagi, bolehkah kita berharap akan munculnya para politisi libertarian? Saya kira tidak. Momen ideal yang ditunjukkan oleh situasi politik kita saat ini tidak harus kita jawab dengan memunculkan para politisi libertarian. Bukan hanya karena kita belum memiliki politisi seperti itu tapi karena langkah sejarah belum menunjukkan pada kita kegentingan sekaligus kearifan untuk memaksakan kemunculannya. Meski begitu, kita sudah tiba pada saat yang cukup tepat dalam memulai langkah untuk itu. Dan langkah awalnya, saya kira, adalah membangun basis organisasional untuk melakukan pengkaderan politisi libertarian.

Tentu saja kita harus tahu bahwa gagasan libertarian sudah tidak bisa lagi dianggap asing di republik ini. Dalam skala yang jauh lebih moderat, kita sudah melihat munculnya kelompok-kelompok liberal. Sebut saja lembaga seperti Freedom Institute Indonesia dengan kompatriotnya Akademi Merdeka yang merupakan lembaga pelatihan pemikiran liberal di Indonesia yang cukup rajin. Meski tak pernah jelas benar di mana posisi politik mereka dalam realitas politik kita hingga hari ini, namun apa yang mereka lakukan, dalam lembaganya masing-masing, sangat patut dihargai. Termasuk gonjang ganjing yang layak diacungi jempol yang telah dilakukan kelompok keagamaan liberal seperti Jaringan Islam Liberal.

Karena itu, meski gagasan mengenai kebebasan individu dan pasar bebas masih memiliki oponennya yang ngotot di Indonesia tetapi kecanggihan argumentatif untuk melakukan pembelaan atas gagasan-gagasan libertarian tersebut sudah menemukan pena dan pembacanya. Kita telah menyaksikan kelahiran para intelektual liberal, jika tidak bisa disebut libertarian, dalam beberapa dekade terakhir ini yang bukan hanya memiliki pembaca tapi juga pengikut. Maka persoalannya bagi kita saat ini, yakni saat di mana politik menjadi ukuran mati-hidup kita sebagai sebuah bangsa, aspirasi bagi munculnya para politisi libertarian tidak bisa lagi diabaikan – setidaknya bagi kaum libertarian sendiri.

Tetapi sejarah memiliki caranya sendiri untuk melangkah dan orang yang paling sukses dalam politik adalah mereka yang tahu cara sejarah melangkah dan siap untuk mengikuti, memanfaatkan, bahkan menungganginya. Saya tidak berbicara tentang langkah sejarah dalam kerangka berpikir Marxis tapi langkah sejarah sebagai pola acak perkembangan dan kemunduran sebuah bangsa dalam pertarungan antara negara dengan masyarakat sipil; dalam terma yang lebih ekonomis, pertarungan antara kelas non-produktif dengan kelas produktif atau, dalam terma yang lebih eksistensialis, pertarungan antara kehendak akan kekuasaan dengan kehendak akan kebebasan.

Pertarungan itu sendiri terkadang bersifat niskala karena dalam beberapa contoh ia bisa berganti rupa menjadi perselingkuhan. Secara politik, kita bisa melihat bagaimana para demagog, untuk kepentingan politik pribadi, cenderung memelintir gerakan masyarakat sipil menjadi gerakan yang justru semakin memperbanyak dan memperkuat tentakel leviathan negara. Secara ekonomi, kita bisa melihat bagaimana kelas produktif memanfaatkan kelas non-produktif dalam birokrasi pemerintahan untuk mendukung keuntungan ekonomi jangka pendek mereka lewat proteksi dan sejenisnya. Bahkan secara eksistensial kita tahu bahwa kehendak akan kekuasaan bersifat sama inheren dalam diri individu manusia sebagaimana kehendaknya akan kebebasan. Itulah kenapa, secara definitif, kita cenderung bingung membedakan antara kebebasan dengan kekuasaan (bahwa tidak mampu melakukan sesuatu bukan berarti tidak bebas melakukannya).

Dan dalam pola gerak langkah sejarah seperti itulah kita boleh mulai menebar bibit politisi libertarian sembari melakukan uji coba gagasan-gagasan libertarian dalam isu-isu politik, ekonomi, dan sosial kita saat ini. Perhatikan, yang saya maksudkan adalah gagasan libertarian, bukan sekedar gagasan liberal yang sudah sering kita dengar selama ini. Artinya, gagasan tentang politik pemerintahan minimal ala Ron Paul dan gagasan pasar bebas dalam landasan model ekonomi Austria seperti yang dia ajukan. Terdengar menyeramkan dan tak arif secara politis? Mungkin. Tapi bukankah itu makna yang sesungguhnya dari eksperimentasi? Seperti juga eksperimentasi beberapa kawan liberal yang bergabung dengan beberapa partai politik yang menurut saya jauh lebih menyeramkan dan sama sekali tak arif secara ideologis.

Saat ini, pada momen ideal ini, kita tentu saja baru boleh bermimpi menemukan figur politisi seperti Ron Paul di Indonesia. Tapi mimpi itu sudah boleh kita ceritakan ke teman-teman dan tetangga. Sudah boleh kita publikasikan dengan resiko dimaki-maki seperti biasa. Dan itu tidak masalah karena politik pada akhirnya adalah masalah praktis membawa bangsa kita melangkah ke masa depan. Dan rakyat, di manapun adanya, tidak akan peduli dengan nama-nama sejauh itu bisa meningkatkan taraf hidup dan kebebasan mereka. Namun sejarah belum cukup matang untuk memunculkan politisi libertarian di Indonesia. Kita masih harus menunggu dengan cara menebar bibit, termasuk menceritakan dengan keberanian yang cukup mimpi-mimpi kita itu.

Sekedar cerita

Ketika menceritakan mimpi seperti itu kepada seorang kawan, reaksinya sangat konservatif. Kenapa mengidolakan politisi Amerika? Apakah kita sudah kekurangan politisi ideal di negeri ini? Benar. Setidaknya pada hari ini, dan beberapa dekade ke belakang, saya tidak melihat ada politisi yang bisa saya anggap ideal. Meskipun saya masih terus mengembangkan simpati pada beberapa di antaranya, dalam kerangka Realpolitik yang sedang mereka hadapi, seperti Ahok.

Saya menemukan diskrepansi akut antara ideal politik para politisi dengan kemampuan berpolitik yang mereka miliki. Akbar Tanjung adalah contoh politisi dengan kemampuan berpolitik yang saya kagumi tapi ideal politiknya jelas menakutkan saya. Sebaliknya, tokoh seperti Ulil Abshar Abdalla, misalnya, memiliki ideal politik yang saya kagumi tapi dengan keahlian berpolitik yang sangat saya ragukan.

Tapi mungkin persoalannya tidak seserius itu, karena jika kawan saya itu boleh mengagumi Hugo Chaves dan sepupu saya mengagumi Ahmadinejad, kenapa saya tidak boleh mengagumi Ron Paul? Mungkin karena di panggung politik Indonesia hari ini, menemukan demagog seperti Hugo Chaves dan Ahmadinejad bukan hal yang sulit, tapi menemukan politisi seperti Ron Paul masih merupakan hal yang muskil.

Catatan: dalam definisi Google Translate, demagogue artinya a political leader who seeks support by appealing to popular desires and prejudices rather than by using rational argument.

Manado, November 2014
amato assagaf