I
Seorang politisi yang baik adalah gabungan yang seimbang
antara gagasan besar, keahlian berpolitik, kerja keras, dan pencitraan.
Gubernur Sulawesi Utara, S. H. Sarundajang tampaknya memahami hal itu meskipun
tidak cukup lengkap dalam meramu dan menerapkannya. Harus kita akui bahwa sang
gubernur memiliki gagasan besar, keahlian berpolitik, dan seorang pekerja
keras. Tapi dalam masalah pencitraan, beliau tak lagi up-to-date bagi pasar politik kita hari ini.
Sebagai satu di antara sisa politisi yang membentuk dirinya
di zaman Orde Baru, Sarundajang jelas sulit untuk memasuki lembar paling baru
dari tuntutan pencitraan politik masa kini, yaitu figur dengan tipologi
populisme kelas menengah yang jujur, bersih dan apa adanya. Pada model politisi
seperti ini, luapan emosi yang diimbangi dengan plastisitas otot wajah adalah ketrampilan
wajib. Apakah itu berarti Sarundajang adalah politisi yang tidak jujur, tidak
bersih, dan tidak apa adanya? Sama sekali tidak. Apa yang hendak disampaikan di
sini adalah niat yang baik dari sebuah kepribadian yang baik, dalam politik,
membutuhkan cara yang tepat untuk diungkapkan.
Di zaman Orde Baru dan sedikit setelahnya, politisi dituntut untuk menjadi “tokoh dalam jabatan,” semacam karakter birokrat berwajah militer dan kebapakan. Luapan emosi adalah tindakan terlarang karena seorang politisi harus selalu tampak penuh kearifan. Karena itu mereka selalu memasang wajah serius, dan senyum atau kemarahan, harus diatur sesuai hirarki. Semakin tinggi jabatan, semakin arif menyembunyikan emosi. Sarundajang, bagaimanapun juga, tidak pernah mampu melepaskan diri dari model pemeranan citra seperti ini.
Dengan wajah terpelajar yang selalu tampak gagal untuk
tersenyum, Sarundajang jelas bukan tipe politisi generasi populis seperti
Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, atau Sehan Landjar. Sulit bagi kita untuk
membayangkan Sarundajang melucu, menjerit marah, atau sekedar meluap-luap dalam
emosi. Tetapi ada yang mungkin menyanggah bahwa persoalan politik bukan
persoalan citra. Apalagi dalam sepuluh tahun masa kepemimpinan politik Susilo
Bambang Yudhoyono, kita mempelajari pencitraan politik dengan cara yang keliru.
Akibatnya cukup fatal, pencitraan dalam politik dianggap sebagai tindakan yang
sudah negatif dari sononya.
Padahal, pencitraan atau bukan, memilih bagaimana kita harus
tampil sebagai seorang politisi adalah tindakan yang sama pentingnya dengan
memilih menjadi politisi itu sendiri. Seorang politisi tidak hanya dituntut,
misalnya, untuk tahu apa yang harus dia ucapkan tapi bagaimana mengucapkannya. Salah
satu debat presiden paling akbar dalam sejarah Amerika Serikat adalah debat
JFK/Nixon. Kita tahu bersama bahwa Nixon kalah dalam debat itu bukan karena isi
argumentasinya tapi karena JFK lebih tahu bagaimana cara menaiki podium,
membedakan dirinya dari lawan, dan memainkan perannya di situ.
Masih dari Amerika Serikat, apa yang membuat John McCain
kalah dari Barrack Obama dalam pemilihan presiden tahun 2008 bukan karena
McCain tidak punya gagasan atau kurang ahli dalam berpolitik tapi karena Obama
membawa citra the rise of America
yang pernah diteriakkan oleh politisi cemerlang yang jatuh karena skandal, John
Edwards. Setelah sepuluh tahun diharu-biru oleh konservatisme hawkish George W. Bush dengan kebijakan yang
berhasil membawa Amerika Serikat menjadi musuh separuh jagad, Obama mampu
menangkap bahwa apa yang dibutuhkan oleh rakyat Amerika saat itu adalah
perubahan. Dia tidak hanya menjadikan itu sebagai isu kampanye tapi juga
menghadirkan dirinya sebagai politisi yang dengannya perubahan itu bisa terwujud.
Singkatnya, Obama mampu memenuhi tuntutan pasar politik Amerika saat itu.
Apa yang dipertunjukkan Obama jelas adalah taktik pencitraan
yang efektif, dan kita tidak bisa menganggap hal itu sebagai tindakan maksiat.
Pencitraan adalah bagian yang sah dan diperlukan dari sebuah proses politik.
Apa yang salah dari pencitraan adalah ketika dia diajukan untuk memanipulasi
persepsi publik atas suatu tindakan atau peristiwa politik. Kita menamakannya
politik pencitraan. Tidak pantas, tentu saja, jika kita melakukan pencitraan dalam
isu-isu penting seperti, misalnya, undang-undang pemilihan kepala daerah. Tapi
memiliki penampilan politik untuk mengarahkan perhatian publik dan memperoleh
dukungan mereka adalah bagian yang absah dari sebuah proses politik, jika
bukannya suatu keharusan yang dituntut secara taktis. Kita menamakannya
pencitraan politik.
S. H. Sarundajang adalah satu dari sedikit tokoh politik
Indonesia dengan intelektualitas dan pengetahuan di atas rata-rata. Tapi hal
itu dan hal-hal seperti itu tidak lagi cukup untuk dijadikan sebagai penampilan
politik di negeri ini saat ini. Ada satu kualitas lain yang jelas sedang dicari
dalam pasar politik kita, yang tampak sebagai urgensi, saat ini; kejujuran. Bersanding
dengan citra bersih dan apa adanya, citra sebagai politisi jujur tak ayal
membutuhkan penampilan yang juga mengesankan hal yang sama. Postur
intelektualitas, yang kerap dimainkan Sarundajang selama ini, jelas bukanlah
penampilan dasar yang bisa mendukung citra kejujuran. Pada kali lain, postur
itu malah dapat menunjuk citra yang sebaliknya. Itulah kenapa populisme sering
juga bermakna anti-intelektualisme (termasuk dalam gaya dan penampilan).
Sikap kalkulatif, analitis, intelektualistis, bermakna eksklusivisme.
Dalam serbuan model politik populis saat ini, sikap seperti itu akan sulit laku
di pasaran politik. Itulah jawaban di satu sisi kenapa Jokowi berhasil meraup
prosentasi suara sedikit di atas Prabowo dalam pemilihan presiden RI baru-baru
ini. Masyarakat kita memang membutuhkan ketegasan ala Prabowo tapi mereka sedikit
lebih membutuhkan pemimpin yang, setidaknya, tampak mau dan mampu berbaur
seperti Jokowi. Dalam pencitraan politik, inklusivisme seperti ini dapat
disaksikan lewat penampilan yang jujur, bersih, dan apa adanya. Sama dengan
dari penjumlahan ketiganya, dalam praktek, adalah seorang politisi yang selalu
berbicara lepas dengan gaya yang sepenuhnya privat, humor pedas mendekati
sarkasme, dan tindakan yang selalu diambil dalam pancaran aura keberanian untuk
menabrak tembok (tanpa harus terlalu peduli apakah memang ada tembok yang harus
ditabrak atau tidak).
II
Pencitraan politik Sarundajang jauh dari semua itu. Tapi apa
peduli kita? Gubernur yang sebentar lagi akan menghabiskan masa jabatannya ini tampaknya
tidak lagi terlalu membutuhkan pencitraan dalam karir politiknya sekarang.
Dengan prestasinya yang cukup membanggakan selama karirnya sebagai politisi dan
pejabat publik, Sarundajang jelas layak mendapatkan penghormatan kita. Tapi
disebut dengan rasa hormat yang sama, beliau mestinya menjadi politisi terakhir
dari kantong sejarah Orde Baru yang all
exclusive di atas panggung politik lokal Sulawesi Utara. Setelah
Sarundajang, kita membutuhkan perubahan yang bersifat total dalam preferensi
politik publik saat ini. Kita harus memunculkan politisi yang dapat memberikan
jaminan atas masa depan wilayah ini.
Jaminan apa? Jaminan bahwa Sulut memiliki tempat yang layak
dalam ruang politik nasional republik ini. Dan kita boleh percaya bahwa
keagenan seorang politisi dalam jabatan publik seperti gubernur memiliki arti
yang cukup penting untuk tujuan itu. Dalam kerangka pencitraan politik, kita
membutuhkan tokoh lokal yang mampu memutar lensa kamera nasional untuk menyorot
provinsi ini. Dan itu berarti kita membutuhkan figur yang memiliki gagasan
besar, keahlian berpolitik, dan pekerja keras seperti Sarundajang tapi dengan
penampilan yang sama sekali berbeda dari mantan walikota administratif Bitung
ini.
Realitas politik kita hari ini adalah riuh rendah problem
kebhinekaan, korupsi, dan kebenaran politik dari semua isu tersebut di dalam
kotak kaca televisi. Berbicara tentang penampilan seorang politisi adalah
berbicara tentang realitas dalam kotak kaca tersebut. Di situ, dengan
penampilan yang tepat, seorang politisi akan membawa manfaat bagi gagasan besar
yang dia ajukan, keahlian berpolitik yang dia mainkan, dan kerja keras yang dia
lakukan, yang tentu saja dia hadirkan demi kebaikan seluruh masyarakat di dalam
wilayah kepemimpinannya. Sulawesi Utara, dengan kepemimpinan yang seperti itu,
kepemimpinan yang memahami realitas problem kebenaran di dalam kotak kaca
televisi, akan memiliki posisi tawar yang layak diperhitungkan dalam percaturan
politik nasional.
Kenapa hal itu penting? Kenapa kita harus memiliki posisi
tawar dalam percaturan politik nasional? Pertama, karena kita berada di wilayah
timur Indonesia yang kadung menjadi anak tiri sejarah politik nasional dan kita
harus melakukan koreksi. Kedua, karena dalam seluruh sejarah yang telah kita
jalani dan dengan seluruh potensi yang kini kita miliki, Sulawesi Utara sudah
layak untuk melakukan tawar menawar. Ketiga, karena semua politik itu bersifat
lokal, dan apa yang kita sebut sebagai politik nasional hanyalah abstraksi dari
dinamika politik lokal tersebut.
Persoalan yang tersisa, kebenaran politik dari kelayakan
Sulawesi Utara untuk memiliki posisi tawar dalam percaturan politik nasional
membutuhkan seorang juru bicara. Kita boleh menyebutnya seorang gubernur,
dengan penampilan yang juga layak untuk memasuki realitas kotak kaca televisi
tempat kebenaran itu dipertontonkan dan diperbincangkan. Dan demi kelayakan itu
kita membutuhkan seorang gubernur dengan citra populis – untuk memenuhi
tuntutan pasar politik nasional – yang secara administrasi anti-korupsi, secara
ekonomi mendukung pasar, secara sosial sepenuhnya progresif, dan secara budaya menghargai
keberagaman. Singkatnya, kita membutuhkan seorang politisi populis sayap kanan progresif
dengan karakter gabungan antara penyair romantis, aktivis anarkis, eksekutif
perusahaan multinasional, dan penyuluh program keluarga berencana.