Selasa, 30 Desember 2014

IDE, TINDAKAN MANUSIA, DAN PERUBAHAN SOSIAL

oleh George H. Smith

Tindakan, menurut Ludwig von Mises, adalah tingkah laku bertujuan dengan apa manusia berupaya untuk mengganti “keadaan yang kurang memuaskan dengan keadaan yang lebih memuaskan.” Gagasan mengenai manusia yang bertindak ini mengisyaratkan tiga hal: (1) Manusia tidak puas dengan kondisinya yang sekarang; ini memberinya dorongan untuk mencari kondisi yang lebih diinginkan. (2) Manusia bisa membayangkan keadaan yang lebih dia inginkan; ini menjadi tujuannya. (3) Manusia percaya bahwa tindakannya memiliki kemampuan untuk mencapai tujuannya; ini membutuhkan teori mengenai hubungan kausal.

Komponen ketiga dari analisis Misesian ini utamanya penting jika kita bermaksud mengapresiasi peran ide-ide dalam tindakan manusia. Tanpa ide mengenai sebab dan akibat kita tidak akan punya alasan untuk memilih satu tindakan dari tindakan lainnya dalam memenuhi tujuan. Bilamana kita bertindak kita menampilkan kepercayaan kita akan kebenaran teorema kausal. Jika kita menempatkan dua orang yang hampir sama dengan tujuan yang sama dalam situasi yang sama tapi memiliki ide yang sangat berbeda mengenai sebab-akibat, maka perbedaan ini saja kemungkinannya akan menghasilkan tindakan yang berbeda. Kepercayaan subyektif kita mengenai sebab-akibat – entah benar ataupun salah, implisit ataupun eksplisit – adalah bumbu penting dalam setiap keputusan yang kita buat menyangkut tindakan kita.

Ide bersifat esensial bagi tindakan dalam cara yang lain pula. Sebelum seseorang memulai pencariannya akan kepuasan yang lebih besar, dia mesti membentuk ide mengenai apa yang dia inginkan. Ide ini adalah tujuan subyektif yang akan mendorong tindakannya. Yang pokok di sini adalah kenyataan subyektif dari tujuan bagi agen yang bertindak, bukan statusnya dalam dunia obyektif. Surga mungkin saja tidak ada di dunia obyektif, tetapi ia bisa ada sebagai ide subyektif di dalam pikiran manusia. Jika seorang manusia menginginkan surga dan percaya bahwa bunuh diri akan membawanya ke sana, maka tindakan merusak dirinya yang selanjutnya akan menjadi nyata dan tidak dapat ditarik kembali seperti setiap tindakan yang didasarkan pada kepercayaan sejati. Sama dengan itu, jika orang percaya bahwa kehendak politik adalah apa yang dibutuhkan untuk membawa perubahan sosial yang diinginkan, maka kepercayaan keliru ini akan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang nyata, jikapun tidak diniatkan.

Karena itu, saat seseorang memilih untuk bertindak, idenya (seperti yang telah disebutkan) pada akhirnya akan menentukan sifat tindakan tersebut. Sebaliknya, sering dikatakan bahwa kepentingan adalah penentu fundamental dari tindakan; tapi seperti yang diamati David Hume, “sekalipun manusia sering diatur oleh kepentingan, namun bahkan kepentingan itu sendiri, dan semua urusan manusia, seluruhnya diatur oleh opini.” Karena itu,. mengatakan bahwa semua manusia bertindak berdasarkan kepentingan-diri adalah kebenaran tandus, karena kita tidak mungkin tahu konfigurasi unik id-ide dan kepercayaan – pendapat-pendapat personal – yang menentukan makna “kepentingan-diri” bagi tiap individu. Demikian juga, setiap teori yang menjamin status istimewa bagi motif-motif ekonomi hanya akan benar jika itu hanya sepele. Tingkah laku ekonomi berkaitan dengan alokasi sumber daya yang langka, tapi menggambarkan setiap tindakan manusia. Setiap tindakan membutuhkan pengalokasian sumber daya yang langka (minimal, waktu dan tenaga kita) dalam rangka mengganti suatu kondisi yang kita nilai kurang menjadi kondisi yang kita nilai lebih. Sifat khas sebuah tindakan sangat bervariasi menurut penilaian subyektif dari setiap individu, sehingga sebuah teori yang mendasarkan semua tindakan pada motif-motif ekonomi tidak akan pernah maju melampaui bromida hampa.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menolak keutamaan peran ide-ide dalam tindakan manusia. Banyak di antaranya yang memenuhi syarat sebagai apa yang saya sebut argumentasi bias ideologi. Menurut tipe analisis ini, semua ide sosial, ekonomi, dan politik dicemari oleh bias budaya, gender, kepentingan ekonomi, dan seterusnya. Dikatakan, misalnya, bahwa pembelaan John Locke terhadap kepemilikan pribadi ditentukan oleh bias ideologisnya, yang merupakan produk dari kemunculan mentalitas borjuis di Inggris abad ke 17. Ada problem serius dengan pendekatan seperti ini, terlepas dari hal-hal khusus.

Setiap noda yang disebabkan oleh bias ideologis harus diterapkan juga pada penafsir, atau sejarawan ide-ide, sebagaimana pada subyek yang dia telaah. Termasuk pada kaum Marxis yang menganggap bahwa pembelaan Locke terhadap kepemilikan pribadi secara historis dipengaruhi oleh bias ideologis. Mengacu pada teori bias ideologi, jika diterapkan secara konsisten, maka penafsiran atas Locke ini tidak bisa meletakkan klaimnya di atas obyektivitas, karena penafsiran itu sendiri mesti juga merupakan produk dari bias ideologi Marxis. Mungkin kaum Marxis, diarahkan oleh bias ideologisnya melawan kepemilikan pribadi, telah merusak atau menyalahpahami ide-ide Locke. Satu-satunya jalan keluar dari lingkaran setan ini adalah sang penafsir harus membuat klaim bahwa dia bebas dari segala bentuk bias ideologis, yang sedikit terlalu nyaman.

Masalah ini menghantui pembahasan terkenal dari Karl Manheim mengenai “sosiologi pengetahuan” dalam Ideology and Utopia (terjemahan Inggris 1936), menurut pembahasan ini klaim-klaim pengetahuan mengenai masyarakat telah dikondisikan secara sosial. Para sosiolog telah mempertahankan banyak variasi dari doktrin ini, tapi, apapun makna persisnya, kita harus bertanya kepada para sosiolog mengenai status kognitif dari kepercayaan mereka terhadap pengondisian secara sosial. Apakah ini suatu kepercayaan yang dikondisikan secara sosial? Jika jawabannya TIDAK, maka tidak semua kepercayaan terkondisikan secara sosial, yang artinya teori mereka keliru. Jika jawabannya YA, maka kita bisa melanjutkan ke pertanyaan berikutnya: Bisakah para sosiolog menghasilkan pengetahuan obyektif mengenai masyarakat? Jika jawabannya TIDAK, maka mereka tidak bisa mempertahankan secara rasional kepercayaannya sendiri, termasuk kepercayaannya menyangkut pengondisian sosial. Jika jawabannya YA, maka mereka bisa secara absah mengklaim kebenaran bagi teori mereka sendiri, tetapi begitu juga adanya dengan setiap orang lainnya.

Argumentasi bias ideologis mirip dengan pendekatan lama, yang umum di abad 19, bahwa gagasan hanya merefleksikan “semangat” dari suatu zaman. Tetapi semua argumentasi seperti itu tidak membuktikan apa-apa karena mereka membuktikan segala hal. Tidak ada yang tidak bisa “dijelaskan” oleh pendekatan ini. setiap ide, setiap teori, setiap argumentasi, merefleksikan budaya intelektual zamannya dalam beberapa cara, jika hanya melalui bahasa konvensional yang digunakannya. Terlebih lagi, “semangat” suatu zaman tidak bisa menjelaskan hal yang paling penting, yakni perbedaan antara para filsuf kontemporer, ekonom, dan teoritisi sosial dari budaya yang sama.

Sering dikatakan bahwa perubahan intelektual penting selalu didahului oleh perubahan sosial penting, dan karenanya yang pertama disebabkan oleh yang terakhir. Ini adalah cara keliru dalam melihat persoalan, karena perubahan sosial sendiri merefleksikan perubahan dalam perspektif intelektual. Persepsi kita mengenai realitas sosial dibentuk oleh ide-ide kita mengenai institusi-institusi sosial, kausasi sosial, nilai-nilai sosial, dan sejenisnya. Mengatakan bahwa perubahan sosial meratakan jalan bagi revolusi dalam ide-ide sama dengan mengatakan bahwa banyak perubahan intelektual kecil dibutuhkan sebelum perubahan intelektual besar bisa terjadi.

Institusi bukanlah entitas fisik yang bisa dipersepsi oleh indra kita. Seperti yang dikatakan Herbert Spencer: “Kamu tidak bisa menyentuh atau melihat sebuah institusi politik: ia bisa diketahui hanya dengan imajinasi konstruktif.” Demikian juga, bagaimana kita memahami kausasi sosial tidak tergantung pada indra kita saja, tapi pada ide-ide kita mengenai sifat manusia dan tindakan manusia. Seperti yang dikatakan Max Weber, ide seseorang menentukan “citra dia atas dunia,” dan citra itu “seperti pengatur lalu lintas, menentukan jalan di atas apa tindakan didorong oleh dinamika kepentingan.”

Maka cara bagaimana kita memikirkan entitas-entitas sosial akan sangat mempengaruhi bagaimana kita mempersepsi entitas-entitas tersebut. Kita kaum libertarian mengetahui ini dari pengalaman, menjumpai banyak orang yang tampak “melihat” pemerintah secara berbeda dari kita. Beberapa pihak tidak melihat pemerintah pada hakekatnya koersif; mereka bahkan melihat pajak sebagai sesuatu yang bersifat sukarela. Perbedaan dalam persepsi sosial merupakan hasil dari cara melihat realitas sosial lewat perbedaan lensa ideologis. Ideologi itu mutlak perlu bagi keberhasilan gerakan libertarian karena membentuk kerangka acuan bersama. Jika kita gagal meyakinkan rata-rata orang, ini seringkali karena kita melihat realitas sosial yang berbeda daripada rata-rata orang.

Pentingnya ide-ide menjadi sangat jelas, dan terkadang menyakitkan, saat kaum libertarian berusaha menjelaskan efek merusak dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Mengutip F. A. Hayek (Law, Legislation, and Liberty, II, hal. 56): “Karena nilai kebebasan bertumpu pada kesempatan yang diberikannya pada tindakan yaaang tidak teramalkan dan tidak terduga, maka kita akan sulit mengetahui apa hilang dari kita lewat restriksi atas kebebasan tertentu.” Akibat langsung dan berjangka pendek dari intervensi atas pasar akan tampak dalam banyak bentuk, tetapi kita tidak akan tahu semua kesempatan kongkret yang telah hilang akibat intervensi tersebut. Ini berarti argumentasi pasar bebas terkadang akan kalah dalam analisis biaya-manfaat, karena manfaat intervensi bisa “dilihat,” sementara biayanya (kesempatan yang tidak disadari) tetap tinggal “tak terlihat.”

Konsekuensinya, putusan kebijakan didasarkan pada kegunaan dan bukan pada prinsip, “kebebasan akan dikorbankan dalam hampir setiap saat.” Hayek (hal. 61) melanjutkan:

“Pemeliharaan atas sistem kebebasan sangat sulit dilakukan karena membutuhkan penolakan terus menerus atas ukuran-ukuran yang tampak dibutuhkan untuk mengamankan hasil-hasil tertentu, pada dasar yang tidak lebih kuat dari konflik mereka dengan aturan umum, dan seringkali tanpa pengetahuan kita pada apa yang akan menjadi biaya karena tidak mengamati aturan tersebut dalam contoh tertentu. Pembelaan yang berhasil atas kebebasan karenanya harus bersifat dogmatik dan tidak membuat konsesi dengan kegunaan… Kebebasan hanya akan menang jika diterima sebagai prinsip umum yang penerapannya pada contoh-contoh tertentu tidak membutuhkan pembenaran.”

Arti penting dari ungkapan di atas tidak bisa dilebih-lebihkan lagi. Interaksi dunia sosial lebih banyak terdiri dari gerakan-gerakan fisik umat manusia. Pada puncaknya ia adalah sebuah dunia subyektif, dunia yang disaring lewat asumsi-asumsi, premis-premis, dan prasangka-prasangka ideologis. Dunia sosial dibentuk oleh ide-ide yang dimiliki orang. Jika kaum libertarian bisa mengubah ide-ide tersebut, maka mereka akan bisa, dalam arti yang sangat harafiah, mengubah dunia.

Diterjemahkan oleh Amato dari http://www.libertarianism.org/columns/ideas-human-action-social-change