Kamis, 01 Januari 2015

KEBEBASAN NEGATIF DAN POSITIF: BEBERAPA REFLEKSI HISTORIS

oleh George H. Smith

Dalam Leviathan (1651), Thomas Hobbes membangun panggung bagi begitu banyak pemikiran selanjutnya mengenai sifat kebebasan. Kebebasan, menurut Hobbes, menandai “ketidakhadiran oposisi” atau “rintangan eksternal” atas gerakan. Kebebasan itu diterapkan tidak hanya pada agen-agen rasional tapi juga pada “makhluk tidak rasional dan benda mati.” Kita bisa bilang, misalnya, bahwa air tidak bebas mengalir melampaui bejana yang mewadahinya.

Bagi apapun yang terikat, atau dikepung, sehingga tidak bisa bergerak dalam ruang tertentu, di mana ruang tersebut ditentukan oleh oposisi dari beberapa tubuh eksternal, kita menyebutnya tidak memiliki kebebasan untuk bergerak. Dan begitu juga dengan semua makhluk hidup, sat mereka terpenjara, atau terkekang, dengan tembok, atau rantai; dan juga air saat terkurung di ambang sungai, atau di dalam bejana yang jika tidak akan menyebarkan diri ke ruang yang lebih luas, kita biasa katakan, bahwa mereka tidak bebas, untuk bergerak dalam cara itu, sebagai mereka bisa jika tak ada rintangan eksternal itu.

Hobbes membedakan dengan jelas kebebasan dari kekuasaan. Manakala rintangan untuk bergerak bersifat eksternal, maka sebuah entitas dikatakan kehilangan kebebasan. Tapi saat rintangan untuk bergerak bersifat internal, maka sebuah entitas dikatakan kehilangan kekuasaan. Fakta bahwa batu tidak bisa bergerak sendiri tidak berarti bahwa batu kehilangan kebebasan untuk bergerak; tetapi batu itu kehilangan kekuasaan (atau kemampuan) untuk bergerak. Demikian pula, jika orang sakit terbaring di ranjang dan tidak bisa berjalan, dia bukan kehilangan kebebasan untuk berjalan (karena tidak ada rintangan eksternal yang menahannya untuk berjalan) tapi kehilangan kekuasaannya untuk berjalan.

Pembedaan Hobbes antara kebebasan (ketidakhadiran rintangan eksternal) dan kekuasaan (kemampuan internal untuk melakukan sesuatu) sering dikutip sebagai formulasi awal dari kebebasan negatif. Terlebih lagi, sejak kaum liberal klasik secara khusus mempertahankan kebebasan negatif, Hobbes terkadang dikutip sebagai proponen awal tradisi itu.

Perspektif ini, meskipun cukup umum, sebenarnya salah kaprah. Absolutisme politik Hobbes merupakan anatema terhadap kaum liberal klasik, dan kebanyakan kaum liberal, terutama mereka yang berada dalam tradisi Lockean, tidak memandang baik konsepsi Hobbes mengenai kebebasan negatif.

Gagasan kebebasan positif – yang mengidentifikasi kebebasan dengan kekuasaan untuk melakukan sesuatu – relatif baru saja muncul dalam teori politik. Gagasan ini tidak menjadi isu penting hingga nanti di abad 19, saat dipertahankan oleh para filsuf yang dipengaruhi oleh Hegel. Karenanya kita tidak bisa berharap banyak dari pembedaan Hobbes menyangkut kebebasan dan kekuasaan. Para filsuf yang lebih awal yang mempertahankan, katakanlah, kebebasan hati nurani tidak butuh Hobbes untuk memberitahukan mereka bahwa kebebasan beragama artinya kemampuan mempraktekkan agama seseorang tanpa paksaan maupun tekanan orang lain. Tidak juga para kritisi perbudakan perlu menunggu buku Leviathan untuk belajar bahwa manusia bebas, berlawanan dengan budak, adalah orang yang tidak berada di bawah yurisdiksi koersif dan kontrol orang lain. Sebaliknya, kebebasan dalam arti negatif – yaitu kebebasan yang dilihat sebagai ketiadaan koersi – sudah setua filsafat politik itu sendiri.

Memang benar bahwa Hobbes menempatkan definisinya atas kebebasan dalam terma negatif, sebagaimana yang dilakukan John Locke dan kaum individualis lainnya. Tapi ini hanya kesamaan superfisial. Definisi Hobbes atas kebebasan berbeda secara fundamental dengan definisi Locke, tetapi perbedaan ini telah dikaburkan oleh pembedaan konvensional antara kebebasan negatif dan positif. Ada pembedaan lain yang jauh lebih penting dalam konteks ini, yakni kebebasan yang dipahami sebagai konsep mekanistik yang mengacu pada hubungan fisik antara benda-benda, dan kebebasan yang dipahami sebagai konsep sosial yang mengacu pada hubungan interpersonal manusia. Hobbes menggunakan konsep mekanistik, yang mendefinisikan “kebebasan” sebagai ketidakhadiran rintangan fisik; sedangkan Locke menggunakan konsep sosial, yang mendefinisikan “kebebasan” sebagai ketiadaan koersi dalam urusan manusia.

Menurut Hobbes, seperti yang telah kita lihat, saat kita terkekang untuk mencapai tujuan kita oleh rintangan internal (mis., oleh ketidakmampuan kita untuk melakukan sesuatu), maka kita disebut kehilangan kekuasaan. Saat rintangan-rintangan itu bersifat eksternal, maka kita kehilangan kebebasan untuk menggunakan kekuasaan kita. Sifat dari rintangan eksternal semacam itu tidak relevan; kebebasan tidak harus mengacu pada hubungan sosial antara agen-agen rasional. Jika saya ingin bepergian dari sini ke sana, kebebasan saya untuk melakukan itu bisa dirintangi oleh tembok tinggi atau sungai yang tak terlewati seperti juga oleh orang lain. Segala halangan eksternal yang menahan saya untuk menggunakan kekuasaan saya, yang menghalangi saya untuk mendapatkan apa yang saya inginkan dan yang bisa saya capai jika tidak ada halangan, mengurangi kebebasan saya.

Karena itu bagi Hobbes, kebebasan merupakan kekuasaan yang tidak dirintangi. Dalam konteks sosial, manusia bebas “adalah dia yang, lewat kekuatan dan kecerdasannya, tidak terhalang untuk melakukan apa yang hendak dia lakukan.”

Gagasan mengenai kebebasan ini tidak asli dari Hobbes. Sebagai contoh, beberapa tahun sebelumnya, Sir Robert Filmer (sasaran utama Locke dalam Two Treatises of Government) telah mempertahankan pandangan bahwa “kebebasan sejati adalah melakukan apa yang dikehendaki, atau hidup sebagaimana yang diinginkan, dan tidak terikat pada segala hukum.”

Konsepsi kebebasan jenis ini merupakan konsepsi favorit Filmer, Hobbes, dan kaum absolutis lainnya karena memungkinkan mereka untuk membantah argumen kaum individualis bahwa tujuan dari sebuah sistem hukum yang adil adalah meningkatkan dan mempertahankan kebebasan. Ini omong kosong besar, kata kaum absolutis, karena semua hukum, dari tipe apapun, tentunya menghalangi kebebasan. Seorang manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang dia inginkan dalam suatu “masyarakat bebas” daripada yang dia lakukan di bawah despotisme. Tidak seorangpun, misalnya, yang akan mengatakan bahwa orang harus bebas untuk memperkosa, menjarah, dan membunuh, sehingga bahkan masyarakat bebas sekalipun membuat hukum yang melarang kebebasan seperti itu dan kebebasan lainnya. Hanya di bawah “anarki” sempurna, sebuah masyarakat tanpa hukum apapun, kita akan menemukan kebebasan yang sempurna. Seperti yang dikatakan Filmer:

Tapi kebebasan semacam itu tidak bisa ditemukan dalam setiap bentuk kesejahteraan bersama, karena ada lebih banyak hukum di tanah-tanah rakyat dibanding tempat lain manapun, dan konsekuensinya mengurangi kebebasan; dan pemerintah, kata banyak orang, dibentuk untuk mengambil kebebasan, dan bukan memberinya kepada siapapun. Kebebasan macam itu tidak bisa ada; jika harus ada, maka tidak akan ada pemerintah sama sekali.

Jika Filmer dan Hobbes benar, jika tujuan utama pemerintah adalah menghalangi dan membatasi kebebasan, maka keberatan yang dibuat oleh kaum individualis melawan monarki absolut tidak masuk di akal. Benar, monarki absolut (dan pemerintahan absolut pada umumnya) menghalangi kebebasan, tapi sudah seperti itulah semua pemerintahan, termasuk pemerintahan yang seharusnya berlandaskan pada persetujuan dari yang diperintah. Kebebasan sempurna hanya bisa ada dalam keadaan alamiah anarkistik – sebuah masyarakat tanpa hukum apapun – dan kebebasan ini akan hilang setiap kali pemerintah mengeluarkan atau memberlakukan suatu bentuk hukum.

Locke menolak konsepsi kebebasan ini. Dalam jawaban langsung kepada Filmer, dia menulis: “Kebebasan bukanlah, seperti yang sering dikatakan, Kebebasan bagi setiap Orang untuk melakukan apapun yang dia kehendaki: (Karena siapa yang bisa bebas, saat setiap Keinginan Orang lain mendominasi dirinya?) Tapi Kebebasan untuk menentukan dan mengatur, sebagaimana yang dia kehendaki, Dirinya, Tindakannya, Miliknya, dan seluruh Propertinya…” Dalam keadaan kebebasan sempurna, orang bisa “menentukan Miliknya dan Dirinya sebagaimana yang mereka anggap cocok, dalam batas-batas Hukum Alam, tanpa memohon izin, atau bergantung pada Kehendak orang lain.”

Jadi bagi Locke, “kebebasan” berarti kemampuan untuk menggunakan dan membuang apa yang memang menjadi milik seseorang tanpa campur tangan koersif dari orang lain, termasuk pemerintah. Dalam gagasan kebebasan berdasar-hak ini, saya bebas sejauh saya bisa menggunakan yurisdiksi atas milik saya sendiri dalam arti luas (tubuh saya, tenaga saya, barang-barang saya, dsb.), menurut kehendak saya sendiri tanpa menjadi sasaran koersi orang lain. (Makna “koersi” adalah topik yang rumit dalam dirinya sendiri, hal yang akan saya bahas dalam esai lain.)

Beberapa filsuf modern, seperti G. A. Cohen (dalam Self-Ownership, Freedom and Equality, Cambridge, 1995), telah melompati konsepsi kebebasan berdasar-hak ini dan, dalam prosesnya, membangkitkan kembali argumen Filmerian lama bahwa bahkan sebuah masyarakat libertarian tidak akan mengijinkan kebebasan tak terhalang, sejauh yang dilarang adalah “kebebasan” untuk membunuh, merampok, memperkosa, dan melakukan tindakan yang merusak hak orang lain. (Beberapa dari para kritisi libertarianisme ini tetap tidak menyadari betapa tuanya argumen ini dan bagaimana kaum liberal klasik telah berupaya untuk berurusan dengannya.)

Konsepsi Locke mengenai kebebasan sosial, yang pada hakekatnya adalah upaya untuk menempa standar bagi kebebasan yang setara, telah diterima oleh sebagian besar filsuf liberal dan kuasi-libertarian terkemudian. Satu pengecualian terkenal adalah Jeremy Bentham, yang mengekspresikan kebangkitan kembali konsepsi kebebasan Flimerian (dan Hobbesian) serta menyimpulkan bahwa semua hukum tentu membatasi kebebasan. Inilah kenapa Bentham mengatakan bahwa tujuan utama hukum adalah membawa keamanan, bukan kebebasan.

Sekalipun para sejarawan modern menekankan kebutuhan untuk memahami konteks historis dan ideologis dari para filsuf yang lebih awal, mereka terkadang gagal memberikan penghormatan yang sama kepada John Locke dan pemikir liberal klasik lainnya yang mempertahankan konsepsi kebebasan berdasar-hak. Hal ini tidak seolah-olah Locke dan pemikir liberal lainnya telah sekenanya memperkenalkan gagasan tentang “hak” yang sarat-nilai ke dalam diskusi kebebasan agar memenuhi tujuan yang telah mereka tetapkan sebelumnya sesuai dengan keyakinan politik mereka. Gagasan tentang “hak” merupakan bagian integral dari filsafat politik jauh sebelum kaum individualis liberal muncul.

Selama berabad-abad para filsuf politik telah mempertahankan hak akan kedaulatan politik, yaitu hak penguasa untuk memaksakan ketaatan pada titah mereka. Apa yang dilakukan kaum individualis liberal, yang utamanya berawal pada abad 17, adalah untuk menantang gagasan mengenai kedaulatan negara dengan gagasan mengenai kedaulatan-diri. Kenapa kita punya “kewajiban” untuk taat pada penguasa politik dan hukum-hukum yang mereka buat? Nyaris mustahil untuk memahami konsepsi liberal mengenai kebebasan berdasar-hak tanpa mempertimbangkan masalah yang lebih luas ini, yang akan saya bahas dalam esai selanjutnya.

Diterjemahkan oleh Amato dari http://www.libertarianism.org/publications/essays/excursions/negative-positive-liberty-some-historical-reflections